Friday 27 February 2015

RASI BINTANG CARINA IC2581


Carina IC 2581 merupakan salah satu gugus bintang yang berada di belahan langit Selatan. Carina merupakan bagian dari rasi lama Argo Navis. di dalam gugus bintang Carina terdapat bintang Canopus yaitu bintang tercerah kedua di langit malam, serta bintang mahapadat Eta Carinae yang merupakan sumber dari Nebula Eta Carinae (NGC 3372).

Gugus bintang ini akan menempati posisi paling tinggi di langit pada tengah malam ini waktu setempat (LMT), kira-kira pukul 00.04 WIB. Posisi yang tepat untuk observasi pada deklinasi -57 derajat 37 menit dari belahan Bumi Selatan. Rasi Bintang Carina tidak bisa diobservasi pada belahan Bumi Utara melebihi batas 12 derajat. Rasi ini tidak mudah dilihat hanya dengan mata telanjang, perlu memakai teropong, binokuler atau teleskop kecil.

enjoy for your observation .. !!


info lebih lanjut :
https://in-the-sky.org/newscal.php

Thursday 26 February 2015

KESALAHPAHAMAN TENTANG ISLAMISASI SAINS

Tulisan ini saya ambil ketika saat Kuliah Astronmi oleh Prof Thomas Djamaluddin,

            Seorang teman yang tampaknya tengah terobsesi dengan Islamisasi ilmu pengetahuan pernah menanyakan mengapa dalam makalah-makalah ilmiah saya tidak pernah tercantum ayat-ayat Alquran. Tampaknya ia meyakini bahwa mencantumkan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan dalam makalah ilmiah merupakan salah satu upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.
            Dalam makalah ilmiah ilmu sosial yang mengkaji perilaku manusia mungkin saja rujukan ayat-ayat Alquran tercantum, karena itu merupakan bagian dari sistem nilai manusia yang mungkin sedang dikajinya. Dalam hal ini rujukan-rujukan dari sumber Islami merupakan hal yang sahih dan sangat dianjurkan bagi para pakar Islam. Itu merupakan salah satu upaya Islamisasi ilmu sosial yang mungkin telah banyak diwarnai sistem nilai non-Islam.
            Namun, dalam hal sains yang mengkaji perilaku alam, tepatkah ayat-ayat Alquran dijadikan rujukan dalam analisis ilmiahnya? Atau secara umum, perlukah Islamisasi sains?
            Ketika saya menulis skripsi untuk mendapatkan sarjana astronomi di ITB tentang gugusan bintang-bintang muda di galaksi Bimasakti yang mengindikasikan bidang galaksi melengkung, kutipan ayat Alquran (Q.S. 3:191-192 tentang pentingnya merenungi alam semesta dan Q.S. 85:1 tentang pentingnya memperhatikan gugusan bintang) hanya saya cantumkan di halaman depan skripsi, tidak masuk dalam makalah utamanya. Alquran menjadi landasan iman dalam mengkaji ayat-ayat Allah di alam semesta, tetapi tidak mungkin dijadikan rujukan untuk memperkuat argumentasi saintifiknya.
            Mengapa tidak mungkin? Ada contoh sederhana untuk menjawabnya. Ketika menyusun desertasi S3 di Jepang yang mengkaji tentang pembentukan bintang, dengan sengaja saya menuliskan kalimat pasif yang secara implisit mengandung pengertian "bintang dibentuk", bukan terbentuk sendirinya. Artinya ada peran Allah sebagai khaliq. Tetapi profesor pembimbing saya mencoretnya dan mengganti kalimatnya sehingga lebih netral, tanpa nuasa konflik keyakinan ada tidaknya Tuhan pencipta alam. Contoh sederhana ini menunjukkan bahwa dalam sains, argumentasi ilmiah harus sepenuhnya berpijak pada landasan yang dapat diterima bersama, apa pun agamanya.

Islamisasi Sains?
            Ketika semangat Islamisasi ilmu pengetahuan muncul di Pakistan pada masa Presiden Zia ul Haq pada awal 1980-an, Bashiruddin Mahmood, Direktur Direktorat Energi Nuklir Pakistan bersama teman-temannya segera menyambutnya dengan dengan mendirikan "Holy Quran Research Foundation". Salah satu hasil kajiannya berupa buku "Mechanics of the Doomsday and Life after Death: The Ultimate Fate of the Universe as Seen Through the Holy Quran" (1987).
            Sayang, obsesinya untuk mengislamisasi sains tampaknya tidak mempunyai pijakan. Fenomena penciptaan dan kehancuran alam semesta yang katanya ditinjaunya dari Alquran dianalisisnya tanpa menggunakan sains secara utuh. Hasilnya, banyak kejanggalan dari segi saintifiknya. Di Indonesia, publikasi serupa itu ada juga, misalkan oleh Nazwar Syamsu dan Fahmi Basya.
            Semangat Islamisasi sains di Pakistan yang dirasakan telah salah arah, menimbulkan kritik tajam dari Dr. Pervez Hoodbhoy, pakar fisika partikel dan nuklir dari Quaid-e-Azam University, Islamabad. Atas saran Prof. Abdus Salam (Penerima hadiah Nobel Fisika 1979), Hoodbhoy memaparkan kritik-kritiknya atas upaya Islamisasi sains di Pakistan dalam bukunya "Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality" (1992). Baik Hoodbhoy maupun Salam sepakat bahwa upaya Islamisasi Sains yang dimotori Presiden Zia ul Haq telah salah langkah dan memalukan.
            Secara spesifik, Hoodbhoy mengkritik beberapa kajian yang oleh para pemaparnya -- di beberapa konferensi tentang Alquran dan sains -- dianggap sebagai sains Islam. Kajian-kajian yang dikritik tajam itu antara lain tentang formulasi matematis tingkat kemunafikan, analisis isra' mi'raj dengan teori relativitas, jin yang terbuat dari api sebagai energi alternatif, dan formula kuantitatif pahala salat berjamaah sebagai fungsi dari jumlah jamaah.
            Sebenarnya, adakah sains Islam? Dan perlukah Islamisasi sains? Untuk menjawabnya, kita kembali mengkaji lebih dalam lima ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah s. a. w. dan kita fahami prinsip dasar sains.
            Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5).
            Dalam makna yang umum, lima ayat yang turun pertama kali ini tentunya bukan hanya perintah kepada Rasulullah s. a. w. untuk membaca ayat-ayat qur'aniyah. Terkandung di dalamnya makna untuk membaca ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam. Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk itu.
            Manusia yang diciptakan dari substansi serupa gumpalan darah telah dianugerahi Allah dengan kemampuan analisis untuk mengurai rahasia-rahasia di balik semua fenomena alami. Kompilasi pengetahuan manusia kemudian didokumentasikan dan disebarkan dalam bentuk tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini melahirkan sains dalam upaya menafsirkannya. Ada astronomi, matematika, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.
            Dari segi esensinya, semua sains sudah Islami, sepenuhnya tunduk pada hukum Allah. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan adalah hukum-hukum alam yang tunduk pada sunnatullah. Pembuktian teori-teori yang dikembangkan dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusiawi. Secara sederhana, sering dikatakan bahwa dalam sains kesalahan adalah lumrah karena keterbatasan daya analisis manusiawi, tetapi kebohongan adalah bencana.
            Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru sering disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?
            Demikian juga tetap Islami sains yang menghasilkan teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga Islami bila didukung bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnatullah, yang tanpa kekuasaan Allah semuanya tak mungkin terwujud.
            Jadi, Islamisasi sains sungguh tidak tepat. Menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk Islamisasi sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa memandang sistem nilai yang dianutnya. Tegasnya, tidak ada sains Islam dan sains non-Islam.
            Hal yang pasti ada hanyalah saintis Islam dan saintis non-Islam. Dalam hal ini sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.
            "Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan". Maka, riset saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam semestinya disyukurinya dengan ungkapan "Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa, Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia" (Q. S. 3:191), bukan ungkapan bangga diri.

                                                                                                                                                                                                                

ANALISIS PEMIKIRAN MOHAMMAD ILYAS TENTANG KALENDER ISLAM INTERNASIONAL (INTERNATIONAL ISLAMIC LUNAR CALENDER)

By: Imas Musfiroh
I . PENDAHULUAN
Dalam kehidupan, umat manusia membutuhkan kalender sebagai pengatur dan pembagi waktu. Terutama bagi umat Islam, kebutuhan akan suatu kalender merupakan hal yang sangat urgen karena banyak ibadah umat Islam yang terkait dengan waktu. Seperti ibadah haji, ibadah puasa Ramadhan dan sebagianya. Saat ini, terdapat dua sistem kalender atau penanggalan yang didasarkan pada waktu-waktu peredaran benda-benda langit. Pertama, Kalender Masehi yaitu sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran rata-rata Bumi mengelilingi Matahari (Solar System). Kedua, Kalender Hijriyah yaitu penanggalan yang didasarkan pada rata-rata peredaran bulan mengelilingi bumi (Lunar System). Kalender Hijriyah inilah yang dibutuhkan dan dipakai umat Islam dalam melaksanakan ibadah-ibadahnya.
Namun, selama bertahun-tahun, fenomena yang sering terjadi di tengah-tengah umat Islam di seluruh dunia yaitu tentang perbedaan dalam permulaan puasa dan hari raya besar dalam Islam. Di Indonesia misalnya, perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri bulan Qamriyah memiliki beberapa kriteria yang di dalamnya tidak terlepas dari hisab dan rukyat. Kriteria membawa dampak ketidakpastian Kalender Islam secara ajeg. Maka perlu adanya penyauan kalender Islam secara universal.
Salah satu penggagas dalam mempersatukan kalender islam adalah Mohammad Ilyas yang tertuang dalam konsepnya “ International Islamic Lunar Calender” yang sering terkenal dengan Kalender Islam Internasional. Gagasan ini muncul akibat adanya perbedaan yang sering terjadi dalam mengawali dan mengakhiri awal bulan Qamariyah. Dalam konsep ini Mohammad Ilyas berharap seluruh umat Islam diseluruh dunia mempunyai satu kalender Islam yang tetap. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang konsep-konsep gagasan Mohammad Ilyas dalam menyatukan kalender islam inetrnasional.

II. PEMBAHASAN
A.    Biografi Mohammad Ilyas
Mohammad Ilyas merupakan salah satu penggagas Kalender Islam Internasional, dilahirkan di India dan kini menetap di Malaysia sebagai guru besar tamu University Malaysia Perlis. Sebelumnya, ia adalah guru besar Sains dan Atmosfira di University Sains Malaysia. Ia juga merupakan salah seorang penggagas dan konsultan ahli berdirinya Pusat Falak Sheikh Tahir di Pulau Pinang. Mohammad Ilyas telah banyak memberikan sumbangan di bidang pengembangan ilmu falak, khususnya tentang kalender islam. Ia menggagas konsep “garis qamari antar bangsa” atau biasa diistilahkan dengan International Lunar Date Line (ILDL). Bagi Ilyas persoalan kalender Islam tidak semata-mata persoalan sains, tapi perlu melibatkan kekuatan politik.[1]
Ilyas merupakan tokoh yang produktif memperkenalkan ide-idenya melalui berbagai buku dan jurnal. Hingga tahun 1998, Ilyas telah menghasilkan 11 judul buku dan 150 artikel yang dimuat di berbagai jurnal nasional maupun internasional. Karya-karya Mohammad Ilyas yang dimksud di antaranya adalah A Modern Guide to Astronomical Calculations of Islamic Calender, Times and Qibla yang pertama kali pada tahun  1984 M / 1405 H oleh Berita Publishing Kuala Lumpur dan dicetak ulang oleh Washington DC pada tahun 1992 M/ 1413 H, International Islamic Calender, Calender ini Islamic Civilzation Modern Issues, Islamic Astronomy and Science Development: Glorious Past, Challenge Future, dan Towards A Unified World Islamic Calender. (Azhari, 2008: 148). Melalui konsep-konsep pemikirannya inilah Mohammad Ilyas dikenal sebagai penggagas Kalender Islam Internasional.   
B.     Gagasan Mohammad Ilyas tentang Kalender Islam Internasional
1.      Sistem kalender islam
Kalender merupakan sebuah sistem untuk memberikan nama atau tanda pada periode-periode waktu yang terbagi dalam hari, tanggal dan tahun. Hari merupakan bagian unit terkecil dalam sebuah kalender. Sementara untuk pembagian dalam sebuah hari meliputi sistem perhitungan waktu seperti jam, menit dan detik.  Istilah kalender bisa disebut juga dengan tarikh, taqwim, almanak dan penanggalan. Istlilah-istilah tersebut pada prinsipnya memiliki makna yang sama.[2]
Secara umum terdapat tiga sistem kalender dilihat dari acuannya pada siklus benda langit. Pertama, sistem kalender Masehi (Syamsiyyah) atau solar calendar, yaiut sistem kalender yang perhitungannya berdasarkan pada perjalanan bumi saat melakukan revolusi mengorbit pada matahari. Kedua, kalender Hijriyah (Qamariyah) atau lunar calendar yang berdasarkan pada perjalanan bulan selama mengorbit bumi. Ketiga, lunisolar calendar, yang merupakan gabungan atas kedua sistem di atas. Kalender lunisolar memiliki urutan bulan yang mengacu pada siklus fase bulan, namun pada setiap tahun tertentu ada sebuat sisipan (intercalacy month). Sisipan ini diberikan agar kalender ini tetap sinkron dengan kalender musim (solar calender), seperti Kalender Yahudi, China dan Kalender Arab pra-Islam.[3]
Adapun kalender Islam adalah murni lunar kalender yang mengikuti siklus fase bulan mengelilingi bumi tanpa adanya keterkaitan dengan tahun tropis. Kalender islam terdiri dari dua belas bulan Qamariyah dan awal bulannya dimulai dari Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Untuk permulaan tanggal 1 dalam bulan hijriyah ditandai dengan munculnya hilal di atas ufuk setelah matahari terbenam. Kalender Islam ini mulai dikenalkan oleh Ummar bin Khatab dengan mendasarkan pada hijrah Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah.   
2.      Dasar Pemikiran Mohammad Ilyas tentang Kalender Islam Internasional
Munculnya suatu gagasan tidak terlepas dari adanya setting sosial masyarakat sekitar yang membentuknya. Setting tersebut baik berupa situasi dan kondisi politik, budaya, ekonomi atau bahkan agama. Salah satu gagasan yang dibentuk oleh Mohammad Ilyas merupakan bukti konkrit bahwa gejala sosial mengakibatkan timbulnya suatu pemikiran untuk menyelesaikan permasalahan tersbut. Mohammad Ilyas tergerak untuk menyatukan dan mendamaikan umat Islam di seluruh dunia dengan menggagas Kalender Islam Internasional. Gagasan ini bermula dari gejolak sosial di Malaysia yang mana umat terbagi dalam beberapa kelompok tradisionalis, modernis dan reformis. Gejala ini timbul dari adanya pemahaman yang berbeda-beda mengenai Kalender Islam. Hal inilah yang mengakibatkan Mohammad Ilyas merasa bertanggung jawab terhadap problem ukhuwah islamiyah dalam rangka mendesain kebangkitan bangsa.
Gagasan penyatuan Kalender Islam Internasional direalisasikan melalui proyek besar kalenderisasi Islam Internasional. Proyek tersebut dilaksanakan melalui International Islamic Calender Program (IICP) yang bermarkas di Universitas Sains Malaysia, Penang. Hasil-hasil riset ini kemudian disebarkan ke Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), kemudian didialgokan melalui pertemuan-pertemuan regional dan internasional. Misalnya Konferensi Penyatuan Awal Bulan Qamariyah di Istanbul-Turki pada tanggal 26-29 Zulhijjah 1398H/ 27-19 Nopember 1978 M, seminar penanggalan Islam Internasional pada tanggal 8-10 Juni 1988 di Malaysia. [4]
Melalui proyek IICP ini, Mohammad Ilyas selain ingin membangkitkan ukhuwah islamiyah di kalangan umat Islam yang semakin memudar karena sering terjadinya perbedaan dalam penetapan awal bula Qamariyah. Kalender Islam Internasional yang digagas oleh Mohammad Ilyas ini bukan dimaksudkan untuk berhari raya secara serempak seluruh umat Islam di dunia, karena jelas tidak mungkin. Yang diingankan Mohammad Ilyas adalah bagaimana menemukan teori-teori yang holistic sehingga dapat dirancang sistem tunggal dalam penyusunan Kalender Islam Internasional. Menurtnya, belum adanya Kalender Islam Internasional sebagai bukti ketertinggalan umat Islam dalam bidang sains dan teknologi. Karena itu, perlu kerja keras dan mimpi besar untuk mewujudkannnya melalui peningkatan pemahaman masyarakat tentang Kalender Islam Internasional.[5]
3.      Gagasan Mohammad Ilyas dalam menyatukan Kalender Islam Internasional
Sebelum memperkenalkan dua konsep hasil gagasan Mohammad Ilyas, perlu diketahui tentang pembagian zona waktu yang diusulkan oleh ilyas ke dalam tiga zona waktu. zona Asia-Paisifk, Zona Eropa, Asia Barat dan Afrika, Zona Amerika.
Dalam merealisasikan hasil gagasannya, Mohammad Ilyas membuat konsep Kalender Islam Internasional yang terdiri dari dua metode pokok. Pertama, astronomical prediction method of new moon’s visibility dan use of the prediction method on a global scale.[6]
a)      Astronomical prediction method of new moon’s visibility
Oleh karena yang menjadi acuan permulaan awal bulan Qamariyah adalah new crescent (hilal), maka konsep pertama yang ditawarkan Mohammad Ilyas dalam penyatuan kalender islam interansional adalah “astronomical prediction method”. Konsep ini merupakan konsep yang dibuat dengan memperhitungkan (hisab) kemungkinan hilal dapat dilhat (imkanurrukyat). Awal bulan dinyatakan telah terjadi apabila pada saat matahari terbenam kemudian hilal di atas ufuk dan hilal tersebut ada kemungkinan untuk dilihat (observation/rukyat). Dalam hal ini yang menjadi acuan adalah penentuan kriteria “visibilitas hilal” untuk dapat teramati.
Adapun visibilitas hilal yang membentuk kriteria astronomical prediction method (imkanurrukyat) adalah sebagai berikut:[7]
1)      Beda tinggi bulan-matahari minimum yang memungkinkan hilal dapat teramati adalah 4 derajat dengan ketentuan beda azimut antara bulan-matahari lebih dari 45 derajat. Namun, jika beda azimutnya 0 derajat, maka beda tinggi antara bulan-matahari haruslah mencapai 10.5 derajat.
2)      Selain itu, sekurang-kurangnya lamanya bulan di atas ufuk adalah 40 menit lebih lambat terbenam daripada matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar untuk daerah di lintang tinggi, terutama pada musim dingin.
3)      Hilal juga harus berumur lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropis dan berumur lebih dari 20 jam bagi pengamat di lintang tinggi.
Visibilitas hilal yang dikonsep Mohammad Ilyas ini merupakan penyempurnaan dari berbagai kriteria visibilitas hilal para penemu sebelumnya. Dengan mengurangi kekurangan yang ada serta menambahkan kemungkinan kelebihan yang dapat diambil, Moh.Ilyas merumuskan konsepnya sendiri.
Konsep kriteria visibilitas hilal merupakan konsep yang dirancang dengan  melakukan perjalanan panjang. Konsep kriteria ini telah dimulai sejak era Babilonia yang memilki kriteria Babilon dan dikenal memiliki bentuk yang paling sederhana.[8]
Astronomical prediction method / hisab imkanurrukyat ini tidak hanya dilakukan di wilayah lokal saja (pada tempat tertentu), melainkan dilakukan secara global. Hal ini dimaksudkan melakukan perhitungan (hisab) di berbagai tempat di muka bumi untuk menentukkan titik imkanurrukyat. Misalnya saja, hisab dimulai dari garis lintang 0° guna menemukan titik mana di garis tersebut hilal mungkiin terlihat pertama kali. Kemudian dilakukan hisab pada garis lintang berikutnya ke Utara dan ke Selatan dengan interval 5° sampai 15° guna menemukan titik-titik imkanurrrukyat pada garis itu.
Apabila semua telah melakukan perhitungan dan telah diketahui pula titik-titik imkanurrukyatnya, maka titik-titik visibilats hilal pertama yang dirukyat tersebut dihubungkan satu sama lainnya dengan garis lengkung (parabolik atau semi parabolik) yang lengkungannya menjorok ke Timur. Garis itu akan memisahkan dua kawasan Bumi yaitu kawasan sebelah Barat garis dan kawasan sebelah Timur garis. Kawasan sebelah Barat adalah kawasan yang mungkin bisa merukyat hilal dan kawasan Timur adalah kawasan yang tidak mungkin bisa melihat hilal. Garis inilah yang disebut sebagai garis tanggal Qamariyah internasional atau International Lunar Date Line (ILDL).
b)     International Lunar Date Line (ILDL)
International Lunar Date Line (ILDL) atau lebih sering dikenal dengan istilah garis tanggal Qamariyah Internasional merupakan gagasan orisinil Mohammad Ilyas pada tahun 1978. Gagasan ini diklaim sebagai proyek untuk masa depan umat yang berusaha mengubah local oriented menjadi global oriented. Dengan menggunakan Garis Tanggal Qamariyah Internasional akan mudah ditentukan usia bulan (29 atau 30 hari) di sutau tempat di permukaan Bumi. Bagi Ilyas, garis tersebut digunakan karena paling mudah menghitungnya dan bisa dipakai sebagai pemandu awal oleh pengguna rukyat terpandu hisab sebelum menghitung data rukyat local.[9]
Konsep ILDL ini berdasarkan pada terlihatnya hilal sedini mungkin pada tingkat global, tetapi menggunakan pendekatan usia yang sama pada waktu matahari terbenam dalam mewujudkan garis penampakkan global. Ini juga menghasilkan teknik kontruksi garis usia sama. Pada akhir tahun 1978 dibangun pula sistem perhitungan global yang makin canggih di tahun-tahun berikutnya. Sistem ini memungkinkan konsep ILDL yang sudah mapan itu dipahami dengan lebih cepat.
Garis Tanggal Qamariyah Internasional membagi bumi dalam dua bagian, bagian pertama adalah bagian yang pada saat maghrib bulan masih di bawah ufuk dan bagian kedua adalah bagian bulan yang telah berada di atas ufuk ketika waktu maghrib. Seperti halnya Garis Tanggal Internasional (International Date Line yang berlaku sekarang) yang emnjadi fungsi garis batas tanggal Masehi, ILDL juga berfungsi sebagai garis batas tanggal Qamariyah. Karena penampakkan hilal yang tidak tetap setiap bulannya, maka ILDL ini muncul secara berpindah-pindah dari bulan ke bulan. Namun, pembagian ini menjadikan pemikiran Moh.Ilyas tetap mewariskan problem klasik yakni persoalan mathla’.[10]
   Garis Tanggal Qamariyah Internasional adalah pengembangan dari garis tinggi nol derajat, di mana ia menghubungkan titik- titik di permukaan bumi yang bisa melihat hilal dengan bantuan teleskop atau binokuler dalam kondisi cuaca cerah beberapa saat setelah terbenamnya Matahari. Konsep ILDL sama dengan konsep Garis Tanggal Internasional yang digunakan dalam penanggalan Gregorian (Masehi). Bedanya, jika Garis Tanggal Internasional selalu tetap (yakni pada garis bujur 180 derajat), maka letak ILDL selalu berubah-ubah bergantung pada konfiggurasi Bulan-Matahari saat itu dan dari satu konjungsi ke konjungsi berikutnya.[11]
C.    Analisis Pemikiran Mohammad Ilyas tentang Kalender Islam Internasional
Gagasan penyatuan kalender Islam Internasional yang dikemukakan Ilyas memiliki dua kriteria utama yakni Astronomical Prediction Method and International Lunar Date Line memberikan wacana baru pada konteks keilmuwan dalam bidang falak. Dalam konteks garis tanggal yang akan dilewati oleh garis ILDL terkait erat dengan wilayah yang mana suatu Negara akan terlewati garis 0 derajat. Konsep ini memudahkan untuk mengetahui wilayah mana saja yang memungkinkan hilal akan bisa terlihat dan tidak di seluruh permukaan bumi. Namun, garis tanggal ini menyisakan masalah yaitu mathla’ yang diakibatkan garis tanggal Qamariyah internasional yang selalu berubah-ubah.
Untuk wilayah Indonesia, kriteria visibilitas hilal juga perlu pengkajian ulang. Karena di Indonesia sendiri masih mengalami polemik mengenai visibilitas itu sendiri. Batas visibilitas hilal yang mungkin terlihat (rukyat) adalah 2 derajat sebagaimana yang ditawarkan dalam kriteria MABIMS. Sehingga perlu kajian dan observasi yang konsisten dan berkualitas agar dapat menghasilkan data yang akurasinya dapat dibuktikan secara empiris.
Dengan demikian, sesungguhnya konsep Kalender Islam Internasional yang digagas oleh Mohammad Ilyas belum bisa menyelesaikan masalah perbedaan kalender hijriyah. Namun, konsepnya telah mampu membuka mata Internasional bahwa pentingnya penyatuan Kalender Hijriyah Internasional sebgaai persatuan umat yang terpecah bela dalam mengawali awal bulan Qamariyah. Dengan penelitian dan dialog universal yang berkesinambungan, maka tidak dapat dipungkiri konsep penyatuan Kaelnder Islam Internasional bisa terealisasikan.

III.             KESIMPULAN
Gagasan Mohammad Ilyas dalam penyatuan kalender islam secara menyeluruh (internasional) memiliki dua kriteria utama yakni Astronomical Prediction Method atau Hisab Imkanurrukyat dan International Lunar Date Line (ILDL) yang lebih dikenal dengan Garis Tanggal Qamariyah Internasional. Gagasan ini mempunyai kelebihan yaitu memudahkan untuk menetapkan tanggal baru pada bulan Qamariyah yang didasarkan pada perkiraan hilal dapat terlihat di suatu tempat di permukaan bumi dan berlaku untuk seluruh wilayah secara universal. Namun, gagasan ini masih menyisakan masalah tentang garis tanggal yang selalu berpindah-pindah yang diakibatkan oleh konfigurasi bulan-matahari yang selalu berubah-ubah dari satu konjungsi ke konjungsi berikutnya, sehingga memberikan ketidakpastian garis 0 derajat yang berubah-ubah.

DAFTAR PUSTAKA

Azhari, Susiknan. Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet I. 2007.
             . Ensiklopedia Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet II. 2008.
             . Penyatuan Kalender Islam, Satukan Semangat Membangun Kebersamaan Umat. Kumpulan Papers Lokakarya Internasional Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, Penyatuan Kalender Hijriyah (Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Obyektif Ilmiah). 2012.
Ilyas, Mohammad. A Modern Guid to Astronomical Calculations of Islamis Calender, Times & Qibla. Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd. 1984.
            . Astronomical of Islamic Calender. Kuala Lumpur: Pustaka Hayati. Cet. I. 1997.
Sudibyo, Muh. Ma’rufin. Data Observasi Hilal 2007-2009 di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia. 2012.
Saksono, Tono. Mengkompromikan Rukyat dan Hisab. Jakarta: PT. Amtythas Publicita. 2007.



[1] Susiknan Azhar. Ensiklopedia Hisab Rukyat. 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm: 147
[2]  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Hlm: 308.
[3] Saksono, Tono. Mengkompromikan Rukyat dan Hisab. Jakarta: PT. Amtythas Publicita. 2007. Hlm: 38
[4] Susiknan Azhari. Ensiklopedia Hisab Rukyat.. hlm: 27-28
[5]Susiknan Azhari. Penyatuan Kalender Islam, Satukan Semangat Membangun Kebersamaan Umat. Kumpulan Papers Lokakarya Internasional Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, Penyatuan Kalender Hijriyah (Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Obyektif Ilmiah). 2012. Hlm: 84-85

[6] Mohammad Ilyas, Astronomical of Islamic Calender. Kuala Lumpur: Pustaka Hayati. Cet. I. 1997. Hlm: 9
[7] Mohammad Ilyas, Astronomical of Islamic Calender,.. Cet I. 1997. Hlm: 97-98.
[8] Ma’arufin Sudibyo.  Data Observasi Hilal 2007-2009 di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia. 2012. Hlm: 2-3. Baca juga Mohammad Ilyas, Astronomical of Islamic Calender. 1997. Hlm: 11
[9] Mohammad Ilyas.  A Modern Guid to Astronomical Calculations of Islamis Calender, Times & Qibla. Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd. 1984.Hlm: 114
[10] Susiknan Azhari.  Azhari, Susiknan. Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet I. 2007. Hlm: 31
[11] Mohammad Ilyas.  A Modern Guid to Astronomical Calculations of Islamis Calender, Times & Qibla…hlm: 115

STATE OF THE ART FENOMENOLOGI DAN ETNOMETODOLOGI


Oleh: Tri Astutik Haryati


A.  Pendahuluan
Pada tahun 1960-an hingga tahun 1970-an terdapat beberapa pendekatan dalam penelitian kualitatif yang menaruh perhatian pada praktik interpretatif (Denzin & Lincoln, 1994: 262). Jika dilihat secara umum, keragaman di dalamnya mengindikasikan bentuk perbedaan pemikiran. Akan tetapi, di balik semua itu terdapat beberapa kesamaan tema dan interkoneksi yakni memberi penekanan pada persoalan bahasa dan makna terkait dengan “pemahaman interpretatif” atas tindakan manusia.
Pendekatan-pendekatan tersebut adalah (Giddens, 2010: 2-3): Pertama,filsafat hermeneutik (Geisteswissenschaften) yang berasal dari Jerman. Sentralitas di dalamnya berdasarkan konsep Verstehen dalam studi prilaku manusia dan diferensiasi radikal antara persoalan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam. Seseorang yang dipengaruhi oleh pemikiran ini adalah Max Weber—meskipun pada saat yang sama sangat kritis terhadapnya. Melalui tulisan-tulisannya, verstehen dikenal luas di kalangan ilmuan sosial. Kedua, filsafat bahasa sehari-hari dari Ludwig Josef Wittgenstein yang berdasarkan pada filsafat Anglo-Saxon dan selanjutnya dikembangkan oleh John Langshaw. Ketiga, fenomenologi—dalam hal-hal tertentu berfungsi semacam broker diantara kedua pendekatan sebelumnya. Hal ini karena Alfred Schutz (perintis fenomenologi sosial) menjadikan Edmund Husserl sebagai sumber inspirasi pemikirannya. Schutz juga menghubungkan antara Husserl dengan Weber. Sehingga secara tidak langsung terhubung pada tradisi Geisteswissenschaften. Pemikiran Alfred Schutz menjadi titik pijak pemikiran Harold Garfinkel (perintis etnometodologi) dan dihubungkan dengan gagasan Wittgeinstein dan Austin.
Adapun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah  State of the Art (kemunculan sampai perkembangan terkini) fenomenologi dan etnometodologi yang berhubungan dengan praktik interpretatif. Meskipun terdapat titik temu didalamnya, namun setiap pendekatan sebenarnya berbeda dan memiliki ciri khas masing-masing. Semuanya berpijak pada tradisi fenomenologis, namun jalur analitis yang bersumber dari prinsip-prinsip dasarnya berkembang dan bercabang menjadi aliran konstruksionis, etnometodologis, percakapan analitis, dan interpretatif. Pembahasan ini akan dimulai dengan mengupas prinsip-prinsip fenomenologis.
B.  Fenomenologi
1.    Pengertian dan Setting Historis-Filosofis Fenomenologi
Fenomenologi merupakan derivasi dari bahasa Yunani phainomenon, akar katanya adalah phaenisthai yang berarti to flare up,to show itself, dan to appear (Moustakas, 1994: 26). Phainomenon berarti yang menggejala atau yang menampakkan diri; sedangkan logos berarti ilmu. Jadi fenomenologi berarti ilmu tentang fenomena atau sesuatu yang menampakkan diri. Menurut George Ritzer dan Barry Smart (2011:460), fenomena dibedakan dengan noumena. Jika fenomena adalah penampakan (appearance), maka noumena adalah realitas (reality). Dalam artian ini, fenomenologi adalah perspektif yang membedakan antara dunia fenomena dengan dunia noumena yang tidak muncul di dalamnya. Fenomenologi juga disebut sebagai ilmu tentang “makna”. Dalam pandangan fenomenolog, “dunia kehidupan” adalah alam semesta tanda-tanda yang memerlukan penafsiran yang tidak pernah selesai (Lubis, 2014: 220).
Fenomenologi sebenarnya bersumber pada filsafat Skolastik abad pertengahan dan empirisme abad modern. Istilah fenomenologi ditemukan dalam tulisan Immanuel Kant (1724-1804) tahun 1765. Kant mengemukankan istilah fenomena sebagai lawan dari noumena. Sedangkan dalam pemikiran GWF. Hegel (1770-1831), pengertian fenomenologi dikonstruksi dalam definisi yang lebih bersifat teknis. Fenomena mengacu kepada pengetahuan yang nampak dalam kesadaran. Fenomena juga digunakan oleh Hegel untuk menjelaskan penampakan diri dari Roh Absolut (Moustakas, 1994: 26).
Sedangkan fenomenologi sebagai sebuah gerakan filsafat yang muncul di Jerman awal abad ke-20, tidak bisa dilepaskan dari Edmund Husserl (1859-1938) sebagai founding fathers. Husserl menjadikan fenomenologi sebagai metode ketat untuk memperoleh teori yang benar dan pasti—sebuah skema filsafat yang melampaui pengetahuan empiris. Dalam perspektif umum, fenomenologi adalah ciri pemikiran modern yang berusaha memahami seluruh dunia pengalaman dari sudut pandang objektif dan subjektif. Tradisi empiris-objektif, menjelaskan bahwa kesadaran sebagai alat untuk mempersepsi realitas yang terpisah dengan subjek. Sedangkan tradisi idealis-subjektif, menafsirkan dunia melalui daya ekspresif yang inhern dalam kesadaran (Ritzer & Smart, 2011: 462).
Keduanya memiliki titik temu dalam rangka menjembatani  jurang pemisah yang amat dalam antara realitas dan penampakan. Dan rekahan tempat terjadinya jurang itu ada dalam pemikiran modern.  Dalam terminologi Cartesian, kesadaran terletak pada subjek, sedangkan kesadaran dalam pandangan Husserl tersusun dari relasi internal antara subjek dengan objek (Giddens, 2010: 5). Meskipun demikian, Husserl tidak pernah mengklaim telah mengungkapkan dasar pertemuan transendental antara subjek dan objek dalam satu kesatuan yang lebih tinggi. Sebaliknya, Husserl memfokuskan perhatian pada self-experience yang harus dibebaskan dari otoritas eksternal—sebuah kesadaran murni. (Moustakas, 1994: 28; Ritzer & Smart, 2011: 464). Kesadaran yang dimaksud Husserl adalah kesadaran yang bersifat ‘intensional’ (terinspirasi dari gurunya yakni Franz Brentano) yakni kesadaran yang terbentuk dari relasi antara subjek dengan objek (Giddens, 2010: 4-5; Lubis, 2014: 207).
Untuk bisa memahami konsep Husserl tentang intensionalitas, maka ada dua istilah  dalam bahasa Yunani yang terkait yakni noesis dan noema. Noesis berarti “tindakan kesadaran”, sedangkan noema, berarti “objek kesadaran” (Moustakas: 1994: 69-70). Contoh noesis: memikirkan, memandang, membayangkan; sedangkan contoh noema (objek kesadaran) dapat berbentuk sesuatu yang bersifat fisikal maupun mental. Antara noesis dan noema memiliki hubungan yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, tindakan kesadaran (noesis) senantiasa mengarah pada objek kesadarn (noema).   
Selain itu dalam fenomenologi Husserl, ada beberapa istilah yang harus dipahami, antara lain: epoché,  reduksi, intensionalitas, dan lebenswelt. Pertama: epoché adalah metode penundaan atau pengurungan asumsi, praduga, penilaian, dan pengandaian atas fenomena (realitas) (Moustakas, 1994: 33). Kedua,reduksi (penyaringan) dalam epoché untuk mendapatkan hakikat. Dalam hal ini ada tiga reduksi yaitu: 1). Reduksi fenomenologis, sebuah sikap penyaringan pengalaman pribadi yang bersifat indrawi dan subjektif. Tujuannya agar pengertian suatu objek tidak terdistorsi oleh praduga, penilaian, pra-anggapan, dan sebagainya. 2). Reduksi eidetis untuk menemukan eidos (esensi) yang tersembunyi atau hakikat yang sebenarnya. 3). Reduksi transendental, yakni reduksi terhadap subjek dalam arti subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri (Lubis, 2014: 211). Ketiga, intensionalitas kesadaran yakni kesadaran yang selalu terkait dengan objek dan seluruh reduksi fenomenologis, dimana kesadaran mampu menyingkirkan dunia empiris. Fokus Husserl adalah sutau ‘tindakan perumusan gagasan’ (ideation) dalam pengetahuan empiris dengan memberi epoché (tanda kurung) semua kekhususan empiris hingga menembus pokok kesadaran dalam konsep fenomenologi transendental(Giddens, 2010: 4-5; Moustakas, 1994: 27). Keempat, lebenswelt atau dunia pengalaman, dunia yang dihayati, atau dunia sehari-hari. Lebenswelt mengacu pada dunia yang belum ditafsirkan baik itu oleh pengetahuan ilmiah maupun filsafat (Lubis, 2014: 211). Dalam fenomenologi transendental, ‘dunia keseharian’ dan ‘prilaku alamiah’ ditempatkan sebagai sarana untuk melihat eksistensi hingga ke dalam aspek yang paling pokok dan bebas dari bias dalam rangka menuju kesadaran murni (Giddens, 2010: 8).
Para penulis yang terpengaruh pemikiran Husserl  merujuk pada argumen filosofis di atas. Asumsi filosofis dalam tulisan mereka berdasarkan persoalan yang sama yakni studi tentang ‘pengalaman hidup’ sebagaimana juga dilakukan oleh Talcott Parsons. Adapun para penerus fenomenologi Husserl yang menjadikan fenomenologi sebagai studi tentang fenomena kehidupan keseharian manusia adalah Alferd Schutz, Martin Heiddeger, Jean Paul Sartre, Max Scheller, Herbert Mead, dan Maurice Merleau Ponty (Creswell, 2014: 106).  
Dari sekian banyak pengikut Husserl, yang mengaplikasikan gagasan fenomenologi sebagai dasar bagi sebuah ilmu tentang prilaku sosial adalah Alferd Schutz. Jika fenomenologi Husserl bersifat filosofis, maka fenomenologi Schutz bersifat sosiologis dengan pusat perhatian tertuju pada ‘tindakan alamiah’ manusia di lingkungan sosialnya.
2.    Fenomenologi Alfred Schutz
Alfred Schutz adalah orang yang pertama kali menyusun konsep fenomenologi secara sistematis dan komperhensif (Nindito, 2013). Pemikiran fenomenologi Schutz—baik secara langsung maupun tidak—diilhami oleh pemikiran Edmund Husserl dan Max Weber. Schutz mensintesa kedua pemikiran sehingga terbentuk sebuah harmonisasi  kemudian dijadikan modal utama dalam membangun pendekatan sosiologi fenomenologis.
Aspek utama dalam pemikiran Husserl adalah bahwa ilmu pengetahuan selalu berpijak pada ‘sesuatu yang eksperiensial’ (bersifat pengalaman). Hubungan antara persepsi dengan objek tidak bersifat pasif, karena kesadaran manusia secara aktif mengandung objek-objek pengalaman. Prinsip ini kemudian menjadi pijakan bagi setiap penelitian kualitatif tentang praktik dan prilaku yang membentuk realitas (Denzin & Lincoln,1994: 263).
Schutz  kemudian melanjutkan pemikiran Husserl dengan mengkaji cara-cara anggota masyarakat dalam menyusun dan membentuk ulang pengalaman hidup sehari-hari. Schutz memulai tulisannya dengan penjelasan dari Weber tentang ‘tindakan bermakna’. Weber menyebut metode yang dikembangkan sebagai verstehen yakni memahami tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (Jones, 2010: 114).
Caranya adalah dengan mengenal secara lebih mendalam peristiwa yang mendahului fenomena dan merefleksikan makna subjektif yang bersifat kompleks. Perhatian Weber berorientasi pada tujuan dan motivasi pelaku. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Weber hanya tertarik pada kelompok kecil masyarakat atau interaksi spesifik antar individu, karena Weber juga memperhatikan perubahan sosial yang terjadi. Dia meyakini bahwa cara terbaik untuk memahami berbagai masyarakat adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan yang menjadi ciri khasnya. Weber merekonstruksi makna di balik kejadian sejarah yang menghasilkan struktur sosial dan dipandang secara unik (Jones, 2010: 114). Pemikiran Weber tersebut selanjutnya dijadikan sebagai landasan ontologis bagi Schutz dalam mengembangkan sosiologi fenomenologis. Kemudian ia mengembangkan dan melengkapinya serta memperluas menjadi studi tentang prilaku alamiah—atau dalam istilah Schutz disebut sebagai  ‘pemahaman umum’ atau ‘dunia sehari-hari’ (Giddens, 2010: 10).
Schutz kemudian mengkritik pemikiran Weber tentang “tindakan bermakna”. Menurutnya, Weber tidak mampu memberikan penjelasan tentang dua hal: 1). Tindakan aktor sebagaimana dipertentangkan dengan prilaku reflektif, aktor ‘melekatkan suatu makna’ pada apa yang dia lakukan; 2). Dalam tindakan sosial, bagaimana aktor mengalami orang lain sebagai orang yang terpisah dari pengalaman subjektif mereka (Giddens, 2010: 10)? Lebih lanjut menurut Schutz, pembahasan Weber tidak mempertimbangkan fakta bahwa tindakan manusia bersifat episodik (dalam pengertian Henri L Bergson adalah pengalaman yang sedang dijalani). Sehingga Weber tidak melihat ambiguitas dalam konsep tindakan. Melekatkan makna pada tindakan yang sedang dijalani adalah tidak tepat karena subjek berada di dalam tindakan itu sendiri. Sedangkan melekatkan makna pada pengalaman berarti pandangan reflektif atas tindakan yang dilakukan oleh seorang aktor—suatu tindakan retrospektif pada tindakan-tindakan yang telah selesai dijalani. Sehingga menjadi semakin keliru untuk mengatakan bahwa pengalaman secara instrinsik mengandung makna. Jadi dalam pandanagn Schutz “hanya apa yang telah dialami saja yang memiliki makna, bukan apa yang sedang alami”.
Kategorisasi refleksif atas tindakan bergantung pada pengidentifikasian maksud atau rencana yang berusaha dicapai aktor. Sebuah rencana ketika telah dicapai, akan mengubah aliran transitoris pengalaman menjadi sebuah episode yang terselesaikan.  Schutz mengkritik Weber karena tidak menyadari perbedaan rencana sebuah tindakan—orientasinya pada pencapaian di waktu mendatang—dari motif ‘sebab’ tindakan tersebut. Dimana rencana atau motif ‘dalam rangka’ tidak memiliki arti eksplanatoris di dalamnya (Giddens, 2010: 11). Pembedaan Schutz antara motif ‘sebab’ (because motive) dengan motif ‘dalam rangka’(in order to motive) merupakan usahanya untuk memperbaiki pembedaan Weber atas pemahaman langsung dan pemahaman eksplanatoris.
Dalam seluruh tindakan yang berlangsung, bisa dibedakan antara ‘tema’ dan ‘horizon’; tema merujuk pada elemen yang dinilai secara subjektif dari sebuah situasi atau tindakan yang relevan dengan suatu rencana tertentu yang pada saat itu sedang menjadi perhatian seorang aktor. Sedangkan horizon mengacu pada aspek-aspek dari situasi yang dianggap tidak relevan dengan apa yang berusaha dicapai oleh aktor. Selanjutnya dalam proses pemaknaan berusaha  menginterpretasikan dunia sosial dalam kerangka besar proses pencarian pemahaman terhadap konstruksi makna dari intersubyektivitas (Giddens, 2010: 12).
Menurut Schutz, pemahaman terhadap prilaku orang lain dapat diteliti secara fenomenologis sebagai proses tipifikasi dengan berpijak pada tipifikasi tindakan yang dilakukan Husserl. Tipifikasi tindakan didasarkan pada tipe tindakan dari aktor, tipe tindakan dari tindakan itu sendiri, dan tipe tindakan yang didasarkan pada karakter sosial dari aktor dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tipifikasi (pemolaan) memudahkan setiap individu untuk mengkaji pengalaman, mengenali dan menentukan apakah benda dan peristiwa dapat dipandang sebagai bagian atau masuk ke dalam jenis relaitas khusus atau tidak. Pada saat yang bersamaan tipifikasi juga bersifat tidak pasti, dapat menyesuaikan diri (beradaptasi), dan dapat dimodifikasi (Denzin & Lincoln, 1994: 263).
Dalam proses tipifikasi, aktor menerapkan skema interpretatif untuk memahami makna dari apa yang mereka lakukan. Inti hubungan sosial adalah hubungan yang secara langsung mengalami yang lain (we-relationship). Dan inilah yang merupakan asal semua gagasan tentang bentuk-bentuk sosial yang diterapkan oleh aktor dalam kehidupan sosial mereka (Giddens, 2010: 13). Dalam perspektif Schutz, setiap individu berinteraksi dengan dunia dengan bekal pengetahuan yang terdiri dari konstruk-konstruk dan kategori-kategori umum yang pada dasarnya bersifat sosial. Citra, teori, gagasan, nilai dan sikap tersebut diterapkan pada berbagai aspek pengalaman  sehingga menjadikannya bermakna. Bekal pengetahuan itulah yang memungkinkan setiap individu menginterpretasikan pengalaman, memahami maksud, dan motivasi individu lain, memperoleh pemahaman intersubjektif dan pada akhirnya mengupayakan tindakan (Denzin & Lincoln, 1994: 263).  Secara esensial, kumpulan pengetahuan selamanya tidak akan pernah lengkap, selalu terbuka akan perubahan.  Sedangkan makna adalah hasil penerapan kategori atau konstruk tertentu pada situasi konkret tertentu.
  Berdasarkan pemikiran tentang tindakan sosial tersebut fenomenologi membantu mengkonstruksi metode ilmu sosial untuk mencoba mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan membandingkan model tindakan sosial secara luas sehingga memiliki sumbangan keilmuan bagi penelitian sosial.
3.    Fenomenologi Alfred Schutz dalam Penelitian Sosial
Titik pangkal pemikiran Schutz menekankan pembedaan antara objek dan karakteristik ilmu-ilmu sosial (Geisteswissenschaften)  dengan objek dan karakteristik ilmu-ilmu alam (Naturwissenchaften). Objek kajian ilmu-ilmu sosial adalah manusia dengan dinamika internalnya (pengalaman, pikiran, kehendak, kesadaran, kebebasan, dan lain sebagainya) sehingga tidak dapat digeneralisir satu sama lain. Sementara pada ilmu-ilmu alam, objek kajiannya adalah benda-benda fisik, yang secara relatif dapat diperlakukan sama. Di sinilah terdapat perbedaan ontologis yang sangat mendasar antara kedua objek kajian tersebut dan berimplikasi pada metode yang akan digunakan dalam penelitian.
Fenomenologi sosial Schutz dimaksudkan untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu “menafsirkan dan menjelaskan tindakan dan pemikiran manusia” dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar dari realitas yang “tampak nyata” di mata setiap orang yang berpegang teguh pada “sikap alamiah”. Inilah isu utama praktik interpretatif yang memusatkan perhatian pada makna dan pengalaman subjektif sehari-hari untuk menjelaskan bagaimana objek dan pengalaman tercipta secara penuh makna dan dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam fenomenologi sosial, terdapat orientasi metodologis yang berkaiatan dengan relasi antara pemakaian bahasa dengan objek-objek pengalaman. Dengan mengikuti teori korespondensi makna, sebuah kata selalu berhubungan dengan referennya, acuannya, atau artinya di dunia nyata. Dalam kerangka ini, tugas utama bahasa adalah memuat informasi atau menjelaskan realitas. Jika dipandang sebagai sebuah sistem pola (tipifikasi),  maka kata-kata bisa diibaratkan sebagai bahan mentah yang membentuk realitas sehari-hari. Sejalan dengan hal tersebut bahwa fenomenologi sosial berpijak pada keyakinan dasar bahwa “interaksi sosial tidak hanya memuat makna tetapi mengkonstruksinya”.
Dalam pandangan Schutz, pemakaian bahasa (yang diterima begitu saja) dan tipifikasi menghadirkan suatu “rasa” bahwa kehidupan bersifat substansial. Dunia selalu hadir terlepas dari pemahaman manusia tentangnya. Hal ini berarti bahwa, orang lain mengalami dunia dengan cara yang sama persis dengan diri sendiri, sehingga dalam interaksi sosial selalu bisa memahami satu sama lain. Asumsi yang terbentuk semua individu secara intersubjektif  berhadapan dengan realitas yang sama . Schutz menekankan bahwa intersubjektifitas ini merupakan pencapaian yang terus berlangsung, yakni serangkaian pemahaman yang dipertahankan dari waktu ke waktu oleh setiap partisipan dalam interaksi (Denzin & Lincoln, 1994: 263).      
Implikasi pemikiran Schutz di atas bahwa, pusat perhatian ilmu sosial haruslah adalah pada cara-cara kehidupan—yakni dunia eksperiensial yang diterima begitu saja oleh setiap orang—diciptakan dan dialami oleh semua anggota masyarakat. Perspektif subjektif ini merupakan satu-satunya jaminan yang perlu dipertahankan agar dunia realitas sosial tidak digantikan dengan dunia fiktif yang bersifat semu yang diciptakan oleh para peneliti ilmiah. Dalam perspektif ini, subjektifitas adalah satu-satunya prinsip yang harus dilakukan oleh peneliti sosial ketika memaknai objek-objek sosial. Jadi penekanannya  adalah cara individu berhubungan dengan objek-objek pengalaman, memahami dan berinteraksi dengan objek tersebut sebagai ‘benda’ yang terpisah dari sang peneliti.
Schutz menyarankan agar peneliti mempelajari tindakan sosial yang terjadi di dalam ‘sikap alamiah’ mereka. Semua penilaian ontologis tentang alam dan hakikat benda-benda serta peristiwa harus ditangguhkan terlebih dahulu. Peneliti harus berkonsentrasi pada bagaimana setiap anggota (member) dunia kehidupan, memproduksi (secara interpretatif) bentuk-bentuk (yang dapat dikenali dan dipahami) yang mereka anggap nyata. Orientasi pada subjektifitas kehidupan ini kemudian mendorong Schutz untuk meneliti penalaran praktis  dengan agenda utamanya adalah memperlakukan subjektivitas sebagai topik penelitian itu sendiri bukan sebagai pantangan metodologis.
Konsekuensi dari pendekatan fenomenologi Schutz berimplikasi pada tingkat metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelusuran tentang pemaknaan tindakan. Penggunaan metode yang sesuai dengan pendekatan fenomenologi menuntut peneliti untuk menemukan “esensi” makna dari suatu fenomena yang dialami oleh individu di masyarakat.
Prosedur Riset dengan pendekatan fenomenologi (Moustakas, 1994: 103-104; Creswell, 2014:  109, 111-113) adalah sebagai berikut:
1.    Peneliti menentukan problem riset yang akan didekati dengan fenomenologi. Tipe permasalahan yang paling cocok untuk bentuk riset ini adalah permasalahan untuk memahami pengalaman yang sama atau bersama dari beberapa individu pada fenomena tertentu. 
2.    Peneliti mengenali dan menentukan asumsi filosofis yang luas dari fenomenologi. Misalnya terkait tentang kombinasi dari realitas objektif dan pengalaman individual. Pengalaman hidup bersifat “sadar” dan diarahkan pada objek. Untuk dapat mendeskripsikan secara penuh bagaimana para partisipan melihat fenomena tersebut, para peneliti harus menyingkirkan sejauh mungkin pengalaman mereka. Peneliti mengurung dirinya di luar dari studi yang dilakukannya. Hal ini tidak berarti mengeluarkan peneliti dari studi tersebut, tetapi hal ini berfungsi untuk mengidentifikasi pengalaman pribadi dengan fenomena tersebut, sehingga peneliti dapat berfokus pada pengalaman dari para partisipan dalam studi tersebut.
3.    Data dikumpulkan dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut melalui wawancara mendalam. Akan tetapi ini bukan ciri universal, karena sebagian studi fenomenologi melibatkan beragam data, seperti: pengamatan, dokuementasi, Focus Group Discussion, dan lain-lain.
4.    Dua pertanyaan umum yang harus ditanyakan: 1). Apakah yang telah Anda alami terkait dengan fenomena tersebut? 2). Situasi apa yang mempengaruhi pengalaman anda dengan fenomena tersebut?
5.    Langkah analisis data fenomenologis berdasarkan dua pertanyaan riset di atas. Analisis diarahkan untuk memeriksa data (transkrip wawancara) dan menyoroti berbagai “pernyataan penting” (analisis yang sempit), kalimat, atau kutipan yang menyediakan pemahaman tentang bagaimana para partisipan mengalami fenomena tersebut. Langkah ini disebut horizonalisasi.  Menuju deskripsi yang detail yang merangkum dua unsur yaitu apa yang telah dialami oleh individu dan bagaimana mereka mengalaminya. Berikutnya peneliti mengembangkan berbagai kelompok makna dari pernyataan penting ini menjadi berbagai tema.
6.    Horizonalisasi digunakan untuk menulis deskripsi tentang apa yang dialami oleh partisipan (deskripsi tekstual). Selain itu juga untuk menulis deskripsi tentang konteks atau latar yang mempengaruhi bagaimana para partisipan mengalami fenomena tersebut yang disebut variasi imajinatif atau deskripsi struktural. Para peneliti juga menulis tentang pengalaman mereka dan situasi mereka sendiri yang telah mempengaruhi pengalaman mereka
7.    Dari deskripsi struktural dan tekstual tersebut, peneliti kemudian menulis deskripsi gabungan yang mempresentasikan “esensi” dari fenomena yang disebut struktur invarian esensial/esensi). Bagian ini berfokos pada pengalaman yang sama dari para partisipan. Artinya, semua pengalaman memiliki struktur dasar. Hal ini merupakan bagian deskriptif, satu atau dua paragraf yang panjang dan pembaca setelah membacanya memiliki perasaan “saya memahami dengan lebih baik seperti apakah fenomena tersebut bagi sesorang yang mengalaminya”. Inilah esensi atau intisari yang merupakan aspek puncak dari studi fenomenologi.
Secara singkat, langkah kongkrit yang harus dilakukan peneliti adalah memilih antara fenomenologi hermeneutika (yang berfokus untuk menafsirkan teks-teks kehidupan dan pengalaman hidup) atau fenomenologi transendental (di mana peneliti berusaha meneliti suatu fenomena dengan mengesampingkan prasangka tentang fenomena tersebut). Prosedurnya yang digunakan adalah epoché (pengurungan): suatu proses di mana peneliti harus mengesampingkan seluruh pengalaman sebelumnya untuk memahami semaksimal mungkin pengalaman dari para partisipan. Analisisnya berpijak pada horizonalisasi, dimana peneliti berusaha memeriksa data dengan menyoroti pernyataan penting dari partisipan untuk menyediakan pemahaman dasar tentang fenomena tersebut. (Qudsy dalam Creswell, 2014:viii).
Saat ini, fenomenologi sebagai sebuah pendekatan dalam kajian ilmu-ilmu sosial sudah semakin berkembang dan populer di kalangan peneliti sosial-budaya. Fenomenologi  digunakan dalam berbagai bidang kajian. Adapun pendekatan yang berakar dari fenomenologi adalah etnometodologi yang akan dijelaskan dalam pembahasan berikut.
C.  Etnometodologi
1.    Pengertian dan Setting Historis-Filosofis Etnometodologi
Kata etnometodologi berasal dari bahasa Yunani etnos yang berarti orang dan methodos yang berarti metode; sedangkan logos berarti ilmu. Etnometodologi dapat diartikan sebagai studi tentang metode yang digunakan oleh orang awam (masyarakat biasa) untuk menciptakan keteraturan atau keseimbangan dalam interaksi sosial (Suyanto, 2010: 205). Topik etnometodologi adalah prosedur keseharian (etnometode) dari tiap-tiap anggota masyarakat ketika mencipta, mempertahankan, dan mengolah rasa akan realitas objektif mereka (Denzin & Lincoln, 1994: 264). Secara empiris, etnometodologi mempelajari konstruksi realitas yang dibuat seseorang pada saat interaksi sehari-hari sedang berlangsung.  Dalam bahasa yang sederhana, etnometodologi mencoba memahami metode (dengan cara apa) individu menangkap pengalaman dunia sosialnya sehari-hari.
Dalam pandangan Pips Jones (2010: 161), etnometodologi berarti “metode orang”. Maksudnya adalah mengungkapkan metode yang digunakan oleh anggota masyarakat dalam suatu tatanan sosial untuk berkomunikasi satu sama lain apa yang mereka pikirkan sedang terjadi (makna situasi itu bagi mereka), dan upaya-upaya yang mereka lalukan agar interpretasi itu dapat dipahami oleh orang lain. Sedangkan menurut George Ritzer (2012: 665), etnometodologi secara harfiah berarti “metode-metode” yang digunakan oleh individu di masyarakat untuk menyempurnakan kehidupan mereka sehari-hari. Dalam etnometodologi,  manusia dilihat sebagai makhluk  rasional. Akan tetapi dalam menyelesaikan persoalan kehidupan sehari-hari  menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formal.
Secara luas, etnometodologi dapat didefinisikan studi tentang himpunan pengetahuan akal sehat (common sense) dengan beragam prosedur serta metode yang digunakan oleh anggota masyarakat awam untuk memaknai, menemukan jalan, dan bertindak menghadapi kondisi-kondisi ketika mereka menemukan diri. Dengan kata lain, bagaimana praksis kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat yang diartikulasikan dalam berbagai bentuk ekspresi tersebut dapat dijelaskan (Ritzer, 2012: 666).
Etnometodologi dapat didefinisikan sebagai ilmu etnometode, yakni prosedur-prosedur penalaran. Pola kerjanya melalui analisis percakapan kemudian melakukan pemaknaan. Rangkaian analisis yang terbangun ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, karena tindakan sosial dapat ditelusuri pada konteks yang berbeda. Etnometodologi berusaha melihat realitas sosial dari berbagai sudut pandang menuju objektivitas analisis secara maksimal. Objektifitas tersebut akan memberikan rekomendasi solusi yang kontekstual dengan apa yang menjadi kebutuhan  masyarakat (Purnomo, 2013).
Berdasarkan pemaham beberapa definisi di atas, maka istilah etnometodologi mengacu kepada kegiatan ilmiah yang menganalisis metode-metode atau prosedur-prosedur yang digunakan individu dalam masyarakat untuk menuntun mereka dalam berbagai kegiatan dalam kehidupan kesehariannya.
Etnometodolgi sering dianggap sebagai suatu metodologi baru dari etnologi, sering juga dipertukarkan dengan etnografi. Dalam ilmu sosial, etnometodologi adalah suatu kajian yang unik sekaligus radikal karena mengkritik cara-cara yang dilakukan para sosiolog sebelumnya. Sehingga dalam pandangan Mehan dan Wood dalam Umarela (2012), etnometodologi dipandang sebagai keseluruhan penemuan, suatu metode, suatu teori, suatu pandangan dunia yang berusaha memaparkan realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi. Kajiannya dibatasi pada common sense yang digunakan terus-menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang dialami individu secara wajar.
Etnometodologi adalah sebuah aliran sosiologi Amerika. Embrionya sudah mulai mengemuka pada periode 1940-an.  Pada waktu itu, Garfinkel—pencetus Etnometodologi menggunakan istilah tersebut dalam berbagai kesempatan seperti seminar, perkuliahan, dan pada pertemuan American Sociological Association (1954). Setelah diterbitkannya Studies in Ethnomethodology (1967), pemikiran Garfinkel menjadi satu disiplin ilmu  yang semakin mantab (Ritzer, 2012: 672).
Kemunculan etnometodologi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran sebelumnya. Misalnya teori fungsional dari Talcott Parsons dan Merton, Strukturalisme  Durkheim, Interaksionalisme Simbolis Mead, Dramaturgi Goffman, Fenomenologi Alfred Schutz dan Husserl. Selain itu juga karya Weber, Manheim, Aaron Gurwitsch, Merleu-Ponty, dan lain-lain. Garfinkel sendiri mengakui bahwa karyanya diilhami oleh Talcott Parsons (Giddens, 2010, 22). Baginya, pemikiran Parsons sangat menawan karena kedalaman dan ketetapannya dalam penalaran sosiologi praktis, yang memiliki kaitan dengan tugas pembentukan tatanan sosial dan pemecahannya (Suyanto, 2010: 195).
Dalam pandangan Parsons, tatanan sosial dihadirkan melalui sistem norma dan sistem nilai yang sudah terlembagakan. Sedangkan menurut Garfinkel, aktor sosial merupakan “sang penilai” yang merespon semua kekuatan sosial eksternal dan dimotivasi oleh dorongan atau kewajiban batin. Tatanan sosial yang dibangun melalui tindakan interpretatif setiap anggota masyarakat umum yang bersifat terus-menerus. Setiap orang memiliki kompetensi interaksional dan linguistik praktis yang memungkinkan hakikat realitas kehidupan sehari-hari dapat dicerap, dipahami, dan secara teratur diproduksi. Karena setiap orang merupakan “anggota” masyarakat, maka semua tindakan yang mereka lakukan membentuk tatanan sosial (Denzin & Lincoln, 1994: 264). 
Selain Parsons, pemikiran Garfinkel juga banyak berhutang budi pada fenomenologi sosial Alfred Schutz. Schutz sendiri dalam mengembangkan pemikirannya berpijak pada pemikiran Weber. Bagi Schut, Weber telah menggariskankan point penting Verstehen (memahami) sebagai lawan dari Erklaren (menjelaskan). Kemudian dikembangkannya dengan prosedur interpretasi dalam kehidupan sehari-hari untuk memberi makna terhadap tindakan diri sendiri dan orang lain. Dunia sosial bagi Schutz adalah dunia kehidupan sehari-hari yang ditempati oleh orang-orang yang tidak membawa keinginan teoritis secara a priori ke dalam pembentukan dunia (Suyanto, 2010: 196).
Dalam pandangan fenomenologi, suatu gejala tidak akan bermakna jika manusia tidak menjadikannya bermakna. Anggota masyarakat yang hidup di dunia yang diciptakan penuh makna merupakan milik bersama. Dan cara mereka menginterpretasikan realitas menggunakan “pengetahuan yang masuk akal” yang mengejawantah melalui bahasa. Melalui bahasa, seseorang dapat memperoleh pengetahuan tentang dunia dan tentang mereka bersama orang lain. Dan bagian terbesar pengetahuan yang dimiliki bersama orang lain adalah sense yang dimiliki seseorang bersama orang lain (Denzin & Lincoln, 1994: 263). Berpijak dari fenomenologi inilah kemudian Garfinkel memusatkan kajian bukan lagi pada apa yang dipikirkan oleh anggota masyarakat sebagai landasan bertindak, melainkan melangkah ke arah kajian mengenai percakapan anggota masyarakat dalam setting kehidupan sehari-hari.
Indikasi pengaruh Schutz  dalam pemikiran Garfinkel, menurut Anthony Giddens (2010: 22) dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan awal Garfinkel tentang pandangan Schutz yang berkaitan dengan sifat rasionalitas dalam prilaku sosial. Garfinkel membuat pemisahan antara “rasionalitas ilmu” dan rasionalitas akal sehat atau “sikap alamiah”. Istilah “rasionalitas ilmu” merupakan sudut pandang Weber terhadap tindakan rasional yang melibatkan penerapan kriteria tujuan yang jelas dalam prilaku sosial. Tindakan termotivasi ini dijelaskan dalam pengertian kriteria pengamat—yang barangkali dan biasanya—tidak sesuai dengan kriteria yang digunakan aktor dalam mengarahkan prilaku mereka. Konsekuensinya, aktivitas sosial manusia yang sangat luas akan tampak “non-rasional” dan “tindakan rasional” akan tampak hanya memiliki arti yang marjinal. Jika hanya ada satu standar rasionalitas yang dapat diaplikasikan pada interpretasi atas prilaku sosial diabaikan dan yang dibicarakan adalah beragam “rasionalitas” yang dapat digunakan para aktor, maka tindakan rasional tidak lagi merepresentasikan sekedar sebuah kategori residual.
Dengan mengikuti Schutz, Garfinkel membedakan sejumlah besar “rasionalitas” yang relevan dengan perhatian terhadap kehidupan sehari-hari yang bersifat praktis. Dalam pandangan Schutz, rasionalitas dalam kehidupan sehari-hari dapat disebut sebagai kepentingan praktis individu dalam dunia sosial dan harus dibedakan dengan kepentingan teoritis atau ilmiah kaum ilmuan. Teori ilmiah mencoba meneliti dan memahami dunia secara sistematis. Menurut Schutz, hal ini harus disingkirkan karena tindakan individu di masyarakat bukan berdasarkan teori ilmiah, melainkan kepentingan praktis. Dunia intersubjektif sama-sama dimiliki oleh orang lain yang mengalaminya (Poloma, 2000: 281). Seorang aktor awam—sebagai teoritisi sosial yang praktis, berhasil menata pengalamannya untuk mendukung keyakinannya bahwa dunia (alam maupun sosial) adalah sebagaimana yang tampak.  Pembahasan realitas inilah yang memberi Garfinkel suatu perspektif baru untuk membangun pendekatan etnometodologi.
Etnometodologi berbicara mengenai kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat serta rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dapat dipahami oleh anggota masyarakat biasa dan yang mereka jadikan sebagai landasan untuk bertindak. Jadi, kajian Garfinkle merupakan studi tentang sifat-sifat penalaran akal sehat praktis dalam situasi tindakan sehari-hari. Hal ini mengindikasikan penolakan rasionalitas ilmiah sebagai titik sentral perbandingan untuk menganalisis panalaran sehari-hari.
Dalam perspektif etnometodologi, aktivitas kehidupan sehari-hari yang terkesan remeh dan tidak representatif untuk dijadikan unit kajian, ternyata tidak demikian adanya. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari ketika dianalisis secara kritis terdapat rasionalitas di dalamnya. Melalui world-view nya, aktor berasal dari orang awam memiliki perangkat pengetahuan praktis (penalaran akal sehat) yang bisa digunakan untuk menjelaskan (account) aktifitas sosialnya (Suyanto, 2010: 206).
2.    Etnometodologi Harold Garfinkel
Etnometodologi dikembangkan oleh Harold Garfinkel—seorang sosiolog modern yang berasal dari Amerika Serikat. Etnometodologi merupakan salah satu teori sosiologi modern yang tergolong dalam ranah sosiologi humanistis atau sosiologi interpretatif. Diskursus utama dalam etnometodologi sebagaimana dijelaskan oleh Garfinkel:
“Bagi etnometodologi, realitas objektif fakta-fakta sosial terdapat di dalam dan secara persis dihasilkan oleh setiap masyarakat secara lokal dan endogen, diorganisasikan secara alami, dapat dipertanggungjawabkan secara refleksif dan berkelanjutan berupa pemerolehan praktis, ada di mana-mana, selalu, hanya, persis dan seluruhnya, merupakan karya  para anggota, tanpa waktu istirahat, dan tanpa kemungkinan untuk dihilangkan, disembunyikan, dilewatkan, ditunda, atau diambil alih, dengan demikian merupakan fenomena fundamental sosiologi” (Ritzer, 2012: 668).
Kehidupan sosial yang dijalani oleh anggota masyarakat dalam perspektif etnometodologi bukan dilihat dengan standar rasionalitas ilmiah, melainkan sebaliknya. Ketika standar ilmiah diberlakukan dalam aktifitas alami sehari-hari justru tidak akan relevan. Titik permulaan eksposisi ini berangkat dari fenomenologi Alfred Schutz, akan tetapi hasilnya menuju arah yang berbeda yakni bagaimana sikap alamiah “direalisasikan” sebagai sebuah fenomena oleh para anggota masyarakat sehari-hari.  Realitas sosial diproduksi dari “dalam” melalui prosedur interpretatif setiap anggotanya (Denzin & Lincoln, 1994: 265). Penekanannya adalah pada pengalaman subjektif menuju studi tentang “tindakan tersituasi” sebagaimana bentuk-bentuk linguistik yang diinterpretasikan secara publik (Giddens, 2010: 25). Etnometodologi hendak menjelajahi fenomena sosial kehidupan aktor sehari-hari dalam memahami, memproduksi, dan me-manage dunia soaialnya melalui cara-cara yang digunakan para anggota masyarakat untuk menjelaskan (melukiskan, mengkritik, dan mengidealkan) situasi-situasi spesifik (Ritzer, 2012: 668). Dalam bahasa singkat, yang menjadi masalah dalam etnometodologi adalah bagaimana (dengan metode apa) individu menangkap dunia mereka sehari-hari, serta bagaimana para anggota masyarakat menerima keteraturan atau pola-pola realitas mereka. Dalam hal ini tidak bisa dilepaskan dengan bahasa dan makna yang dikaitkan pada simbol-simbol signifikan (Poloma, 2000: 282).
Garfinkel dalam mendeskripsikan perhatian etnometodologi, menggunakan istilah indeksikalitas dan ekspresi indeksikal—kata yang dipakai oleh Y. Bar-Hillel dan CS. Pierce yang menemukan indexical sign (makna kata tergantung konteksnya) (Giddens, 2010: 25). Berbagai ungkapan indeksikal merupakan rancangan mengenai ruang dan waktu kejadian yang dapat berfungsi sebagai index untuk menempatkan apa yang terjadi dalam dunia realitas. Menurut Garfinkel, ungkapan objektif sulit diterapkan dalam (sebagian besar) percakapan informal, meskipun ungkapan tersebut esensial bagi ilmu pengetahuan (Poloma, 2000: 282).
Dalam pandangan Garfinkel, dunia sehari-hari berjalan di atas suatu sistem yang penuh dengan ungkapan indeksikal, sedangkan para sosiolog menekankan penggunakan ungkapan-ungkapan secara objektif. Definisi yang digunakan individu dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa dikacaukan dengan “pengetahuan ilmiah”. Keduanya sama-sama rasional tetapi dalam kategori yang berbeda (Poloma, 2000: 290).
Kalimat indeksikal berlangsung dalam aktifitas sehari-hari baik berupa indexical expression maupun indexical action.  Aktifitas praksis yang dilakukan oleh setiap aktor dalam proses interaksi  tidak bisa dilepaskan dengan bahasa. Melalui bahasa—khusus yang menggunakan ungkapan indeksikal—manusia mampu mengungkapkan keteraturan yang mereka buat terhadap dunia sehari-hari. Salah satu elemen bahasa yang mudah diketahui adalah percakapan. Dalam konteks ini, etnometodologi menjadikan percakapan baik verbal maupun non-verbal dalam lingkup institusional—seperti di sekolah, rumah sakit, pengadilan, penjara, dan institusi lainnya—terutama mencakup pembicaraan keseharian. Menurut Garfinkel, untuk memahami aktifitas keseharian tersebut penting dilakukan melalui “analisis percakapan”. Melalui analisis percakapan bisa dimengerti bagaimana cara (metode) setiap subjek ataupun aktor dalam menjelaskan tindakannya secara rasional (Suyanto, 2010: 202).
Berdasarkan pemahaman di atas, maka etnometodologi memandang bahwa dalam kehidupan soaial masyarakat tidak semata-mata ditopang oleh berfungsinya sistem atau struktur sosial, melainkan proses kerja subjektifitas aktor sosial yang selama ini memainkan peran determinan dalam membangun dunia sosialnya, terutama dunia sosial yang integratif dan harmonis.
Adapun peran yang dilakukan oleh aktor atau anggota masyarakat menurut Garfinkel  tidak terbatas pada kalangan aktor yang memiliki status ilmuan yang memiliki kemampuan bernalar secara ilmiah, melainkan masyarakat pada umumnya juga memiliki peran yang sama sebagai sosiolog praktis yang mempunyai kemampuan dalam menstrukturkan dunia sosialnya (Suyanto, 2010: 203). Dalam realitas sosial, individu-individu dalam berbagai strata sosialnya—baik awam maupun terdidik—dalam suatu kelompok sosial (member), dipandang sebagai makhluk rasional yang memiliki kemampuan dan kecerdasan dalam membangun dunia sosialnya. Mereka adalah aktor-aktor sosial yang dinamis, kreatif, cerdas dan selalu memiliki kemampuan untuk menjadikan dunia sosial dan juga setting sosial yang melingkupinya itu dapat dipahami (akuntabel).
Dengan demikian studi etnometodologis menurut Anthony Giddens (2012: 29) memiliki dua tujuan: Pertama, untuk membuat akuntabilitas praktik-praktik sosial menjadi akuntabel, tetapi tidak berusaha memperbaiki ungkapan-ungkapan indeksikal seperti halnya teori-teori yang berusaha mengklasifikasikan dan menjelaskan praktik-praktik ini pada suatu tingkatan umum; Kedua, pemikir etnometodologi tidak membedakan—untuk tujuan studi mereka sendiri—antara sosiologi yang diterapkan oleh para anggota masyarakat awam dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan sosiologi yang diterapkan oleh para ilmuan sosial yang profesional.
Etnomedologi memberikan gambaran betapa realitas sosial yang dibakukan sebagai realitas objektif yang dalam kerja akademis peneliti, membutuhkan perangkat analisis formal tidak cukup bisa digunakan untuk menjelaskan persoalan-persoalan sosial sampai yang tak terpikirkan dan tidak bisa dipertanyakan. Dalam pelaksanaan penelitian, etnometodologi beranggapan bahwa pembentukan pengetahuan sosiologis terhadap pemaknaan realitas sosial harus diawali dari metode yang bisa diukur dan terobservasi secara jelas. Metode yang digunakan untuk menganalisis realitas sosial bukanlah metode yang dimunculkan dari pemikiran apriori manusia, namun harus berdasar pada pemikiran aposteriori manusia.
3.    Etnometodologi dalam Penelitian Sosial
Fokos kajian etnometodologi dalam penelitian empiris adalah tentang “metode anggota” berangkat dari basis fenomenologis. Di dalamnya berlaku netralitas etnometodologis dimana setiap peneliti hendaknya menangguhkan semua komitmen atau kecondongan pada versi struktur sosial tertentu yang bersifat a priori atau diistimewakan. Perhatian peneliti harus dipusatkan pada bagaimana cara setiap anggota dapat menciptakan, mengolah, dan memproduksi “rasa” akan struktur sosial, untuk mengeksplorasi metode rakyat dan logika awam (Denzin & Lincoln, 1994: 338).
Dari sisi prosedur, sebuah penelitian etnometodologi harus selalu disesuaikan dengan wacana dan interaksi yang berlangsung secara alami seiring dengan berlangsungnya penelitian terhadap unsur pembentuk setting sosialnya atau konteksnya. Yang hendak dieksplorasi oleh etnometodologi adalah muatan atau ujaran sebagai pembentuk makna lokal. Makna yang dimaksudkan adalah: 1). Makna secara esensial bersifat indeksikal atau tergantung konteks yang menyertai. Tanpa konteks yang jelas, maka objek atau peristiwa akan kabur/ambigu dan tidak pasti; 2). Situasi atau kondisi lingkungan yang menghadirkan konteks bagi makna bersifat mengembangkan dirinya sendiri. Artinya, realitas sosial yang tercipta adalah realitas yang refleksif (perenungan); deskripsi tentang setting sosial menciptakan setting tersebut sekaligus dibentuk oleh setting yang dikandungnya (Denzin & Lincoln, 1994: 265). Antara indeksikalitas dan refkesivitas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, yang dalam hal ini sebagai dua unsur sosial yang tidak bisa dihindari. Inilah yang termanifestasikan dalam penelitian etnometodologi.
Dalam setiap penelitian tentang praktik interpretatif yang terposisikan secara sosial, memerlukan perhatian lebih terutama pada aspek percakapan dan interaksi. Analisis metodologisnya terfokus pada setting sosial yang tersingkap secara interaksional dengan percakapan dan interaksi diperlakukan sebagai topik analisis, bukan komunikasi biasa tentang fenomena. Analisis juga dapat mengeksplorasi strukturasi ujaran yang bersambung sebagai sarana untuk membangun konteks dan makna dalam berinteraksi. Analisis ini selanjutnya berkembang sebagai salah satu varian dalam etnometodologi menjadi analisis percakapan (Denzin & Lincoln, 1994: 265; Ritzer, 2012: 673).
Tujuan analisis percakapan adalah pengertian yang rinci atas struktur-struktur fundamental interaksi percakapan. Percakapan dalam perspektif etnometodologi adalah aktifitas interaksional yang mempertunjukkan sifat-sifat yang stabil secara teratur yang merupakan prestasi-prestasi orang yang bercakap-cakap. Percakapan dilihat sebagai hal yang tertata secara internal dan berurutan sehingga fokus analisisnya pada pembatas internal, bukan kekuatan eksternal yang membatasi (Ritzer, 2012: 674).
Menurut John Herritage dalam Denzin dan Lincoln (1994: 265-266), analisis percakapan dapat dirangkum ke dalam tiga premis utama: Pertama, interaksi terorganisir secara struktural sehingga dalam percakapan sehari-hari terlihat konstan dan teratur. Semua aspek interaksi dapat dikenali sehingga kestabilan pola dan nuansa struktural tampak jelas. Seluruh aspek tersebut tidak tergantung pada karakteristik psikologi ataupun karakteristik lain dari sang penutur. Namun memperlihatkan aspek-aspek “bertutur-berinteraksi” yang menjadi acuan partisipan yang terlibat di dalamnya; Kedua, semua interaksi terorientasikan secara kontekstual dalam arti bahwa percakapan merupakan hasil refleksi dari lingkungan atau kondisi produksinya; Ketiga, kedua ciri di atas adalah sifat asli dari semua interaksi sehingga tidak ada satupun yang dapat diabaikan atau dilupakan atau dianggap insidental, irrelevan, atau menyalahi pola yang sedang terjadi.
Zimmerman dalam George Ritzer (2012: 674-675) memerinci lima prinsip dasar analisis percakapan:
1.    Analisis percakapan memerlukan himpunan data yang sangat rinci mengenai percakapan-percakapan yang diteliti. Data tersebut tidak hanya berupa kata-kata, melainkan juga keragua-raguan, penyelaan, pengulangan, kebisuan, penghelaan nafas, mendehem, bersin, tertawa, kebisingan mirip tawa, persajakan dan semacamnya, prilaku non-verbal yang tersedia pada laporan-laporan video pada audiotape.
2.    Rincian paling baik dari suatu percakapan berarti pencapaian yang rapi. Hal-hal kecil dari percakapan tidak ditata oleh para peneliti, melainkan oleh aktor sendiri.
3.    Interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat stabil yang rapi yang merupakan prestasi-prestasi para aktor terlibat. Sifat-sifat percakapan diperlakukan oleh peneliti  seakan-akan otonom, dapat dipisahkan dari proses kognitif para aktor dan juga konteks yang lebih besar dari tempat kejadian.
4.    Kerangka fundamental percakapan adalah kerangka skuensial (percakapan sehari-hari). Rangkaian interaksi percakapan diatur secara bergiliran atau berbasis lokal. Ada dua pembedaan antara percakapan “yang dibentuk-konteks” dan “yang membentuk-konteks”. Percakapan yang dibentuk-konteks adalah apa yang dikatakan setiap momen tertentu dibentuk oleh konteks skuensial yang mendahului percakapan. Sedangkan percakapan yang membentuk-konteks adalah apa yang sedang dikatakan di dalam giliran yang sekarang menjadi bagian dari konteks untuk giliran masa depan.
5.    Analisis percakapan didasarkan pada asumsi bahwa percakapan adalah lapisan dasar bentuk-bentuk lain hubungan antar pribadi. Sebuah bentuk interaksi yang paling meresap, dan suatu percakapan terdiri dari matriks terpenuh praktik-praktik dan prosedur-prosedur komunikatif yang diatur secara sosial.
Penjelasan di atas memberikan uraian umum tentang etnometodologi secara teoritis. Akan tetapi satu hal yang harus diperhatikan adalah jantung etnometodologi bukanlah terletak pada pernyataan-pernyataan teoritis melainkan dalam studi empiris. Dalam studi empiris terdapat dua prosedur yang dikembangkan etnometodologi yakni observasi-partisipan dan eksperimen semi lapangan. Eksperimen yang dimaksud tidak sama dengan eksperimen dalam penelitian positif, melainkan memahami secara mendalam dengan metode dokumen interpretasi.   
Menurut Manheim dalam Bagong Suyanto (2010: 214), metode dokumen interpretasi adalah penelitian tentang pola identik yang tersembunyi di bawah suatu keragaman untuk mewujudkan berbagai makna. Digunakan untuk meneliti suatu penampilan yang aktual (fakta) sebagai suatu “dokumen” tentang suatu “penggambaran” seperti “atas nama” suatu model yang diperkirakan tersembunyi. Bisa jadi hal ini diturunkan dari fakta dokumen pribadi, tetapi fakta yang diinterpretasi atas dasar “apa yang diketahui” tentang pola yang tersembunyi tersebut. Dan masing-masing dipakai untuk menguraikan yang lain.
Penelitian dengan fokus perhatian pada percakapan detail “langsung”, membutuhkan metode penelitian yang naturalistik. Secara teknis, percakapan direkam dengan alat perekam (audio-video) dan ditranskripsikan sehingga proses percakapan timbal balik terekam secara detail. Analisis kemudian diarahkan pada struktur percakapan yang kolaboratif dan terus-menerus muncul. Kemudian diidentifikasi prinsip-prinsip yang mengatur urutan percakapan, pola pengaturan dan penggantian ujaran secara lokal, lain-lain. Seperti: urutan pembukaan, dinamika, dan penutupan. Intinya, percakapan diteliti sampai metode atau struktur yang mengatur jalannya percakapan tersebut tampak gamblang (Denzin & Lincoln, 1994: 266).
Proses memahami realitas sosial akan menjadi jelas manakala realitas tersebut dipertanyakan. Dan etnometodologi melalui proses analisis percakapan sebagaimana uraian di atas, menunjukkan bagaimana menangkap pengertian dari apa yang sebenarnya sedang dikatakan oleh aktor dalam realitas sosial.  Menurut Giddens (2010: 15), sosiologi interpretatif bertujuan untuk memberikan kemungkinan penjelasan yang sejelas mungkin terhadap pemikiran tentang dunia sosial oleh mereka yang hidup di dalamnya. Sehingga tindakan manusia yang dilakukan di dalam dunia kehidupan oleh seorang individu akan dapat dipahami bagi aktor sendiri maupun bagi sesamanya dalam pengertian interpretasi atas kehiudpan sehari-hari. 
D.  Titik Pisah dan Titik Temu antara Fenomenologi dan Etnometodologi
Pada dasarnya terdapat beberapa perbedaan antara fenomenologi dan etnometodologi. Pemikiran fenomenologi Alfred Schutz lebih dekat kepada fenomenologi Edmund Husserl. Meskipun Schutz meninggalkan fenomenologi transendental, tapi dia membahasnya secara arbitrer tanpa menyediakan contoh kasus untuk dipahami. Sehingga nampak ketegangan yang tidak terselesaikan antara fenomenologi yang berakar dalam pengalaman ego dengan dunia yang intersubjektif. Fenomenologi Schutz lebih dekat kepada pemikiran Wittgenstein yang diadopsi Winch yang menyatakan bahwa pemahaman diri hanya dimungkinkan dari pemanfaatan bentuk-bentuk linguistik yang tersedia secara publik oleh Subjek.
Sedangkan pemikiran Garfinkel merujuk pada Schutz dan Wittgenstein—bukan dalam rangka melahirkan sebuah penjelasan filosofis atau logika ilmu-ilmu sosial sehingga melahirkan penelitian praktis. Sehingga dasar etnometodologi menjadi tidak terjelaskan. Dalam pemikiran Garfinkel ada dua hal atau penekanan yang saling berlawanan dan tidak dapat direkonsiliasikan, akan tetapi pada saat yang sama bisa langsung menuju naturalisme. Hal ini tercermin dalam konsep indeksikalitas.
Antara fenomenologi dan etnometodologi, memiliki titik temu yakni masing-masing pendekatan memiliki keutamaan mendalam pada penilaian apapun terhadap karakteristik metode sosiologi. Keduanya juga termasuk ke dalam sosiologi interpretatif: Pertama, Verstehen tidak seharusnya diperlakukan sebagai teknik investigasi yang secara khusus dimiliki oleh para ilmuan sosial, tetapi secara umum pada semua interaksi sosial--atau dalam pernyataan Schutz—bentuk pengalaman tertentu yang di dalamnya pemikiran akal sehat menerima pengetahuan dunia kultural sosial. Kedua, implikasinya adalah, secara mendasar para peneliti sosial menggunakan sumber-sumber yang sama dengan yang digunakan para aktor awam dalam memahami prilaku manusia secara “ilmiah”. Sebaliknya, teori praktis yang dihasilkan oleh orang awam tidak begitu saja dapat diabaikan oleh peneliti sebagai sekedar penghambat bagi pemahaman tentang prilaku manusia secara “ilmiah”. Ketiga, pengetahuan yang secara berkala digunakan oleh anggota masyarakat untuk membuat sebuah dunia sosial bermakna tergantung pada pengetahuan yang dipercaya begitu saja atau pengetahuan pragmatis. Dengan kata lain, “pengetahuan yang jarang bisa diungkapkan dalam bentuk pernyataan oleh agen dan tidak relevan dengan idealisme ilmu pengetahuan. Keempat, konsep-konsep yang digunakan oleh ilmuan sosial dihubungkan pada pemahaman sebelumnya dari konsep-konsep tersebut yang digunakan orang awam untuk melangsungkan sebuah dunia sosial yang bermakna.
Adapun kelemahan yang dimiliki oleh kedua pendekatan adalah: Pertama, setiap pendekatan lebih berurusan dengan pengertian dari pada dengan tindakan praktis—keterlibatan aktor dengan realisasi perhatian secara praktis, termasuk transformasi materi alam melalui aktivitas manusia. Kedua, konsekuensinya tidak satupun dari kedua pendekatan mengenali adanya sentralitas kekuasaan dalam kehidupan sosial. Bahkan, sebuah percakapan sambil lalu antara dua orang juga merupakan sebuah relasi kekuasaan, karena keduanya akan membawa sumber yang tidak setara. Proses produksi dalam sebuah dunia sosial yang “teratur” dan “bisa dijelaskan” tidak dapat dipahami sekedar sebagai kerja kolaborasi oleh sepantar. Pengertian-pengertian yang dihasilkan untuk dipahami mengekspresikan kekuasaan yang asimetris atau setara. Ketiga, norma-norma atau kaidah sosial memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda-beda; perbedaan interpretasi terhadap sistem ide yang sama terletak pada inti persetruan yang berdasar pada pembagian kepentingan.
E.  Penutup
Sebagai sebuah pendekatan penelitian, fenomenologi dan etnometodologi menghadapi tantangan yang menjadi agenda ke depan. Fenomenologi mensyaraktkan asumsi filosofis yang lebih luas, dan para peneliti harus mengidentifikasi dalam studi mereka. Akan tetapi asumsi folosofis adalah ide yang abstrak sehingga tidak mudah terlihat dalam studi fenomenologi tertulis. Selain itu, partisipan yang harus dipilih secara hati-hati (yang memiliki pengalaman sama atau fenomena yang dimaksud) menjadikan peneliti dapat membentuk pemahaman yang sama. Kesulitan yang dihadapi peneliti  adalah menemukan individu yang memiliki fenomena yang sama.
Kesulitan lainnya adalah mengurung pengalaman pribadi peneliti. Karena penafsiran terhadap data selalu melibatkan asumsi yang dibawa peneliti ke dalam studi yang dilakukannya, maka dibutuhkan definisi yang lebih tepat untuk “epoché”(pengurungan) ini. Dengan demikian, peneliti memiliki gambaran jelas dengan cara apa pemahaman pribadinya akan dimasukkan ke dalam studinya.   
Sedangkan etnometodologi yang memandang dirinya mampu memberikan cara pandang baru yang lebih komprehensif dibandingkan dengan sosiologi konvensional nampaknya memunculkan kritik dari berbagai kalangan. Ada yang mengatakan etnometolodologi sebagai Sociology of Absurd. Ada juga yang menilai etnometodelogi sebagai teori pinggiran yang berurusan dengan hal-hal remeh dan terlalu memusatkan perhatian pada persoalan sepele dengan mengabaikan persoalan besar di masyarakat.
Etnometodologi juga kehilangan refleksi radikal keasliannya yang berakar pada fenomenologi, dengan tidak memberi penekanan pada kesadaran atau proses kognitif melainkan lebih memperhatikan pada struktur percakapan. Sehingga dalam pandangan sosiologi konvensional, etnometodologi dinilai gagal menyatakan metodologinya dengan tepat, jelas, dan naif dalam mengetengahkan bagaimana proses asumsi yang diterima begitu saja dari realitas sehari-hari. Kegagalan lainnya adalah menampilkan tesis inti hakikat realitas sosial.
Sejarah akan mencatat apakah etnometodologi bisa bertahan sebagai perspektif menghadapi kritik yang demikian atau hanya menjadi “bidang lain” dari teori yang sudah mapan. Waallahu a’lam bi al-shawab.












Bibliografi
Creswell. John W. Peneltian Kualitatif dan Desain Riset Memilih diantara Lima Pendekatan. Diterjemahkan oleh Ahmad Lintang Lazuardi dari “Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approaches. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Denzin, Norman K. Hanbook of Qualitative Research. London: SAGE Publicayion, 1994.
Garfinkel, Harold. “Ethnomethodology’s Program” dalam Social Psycology Quarterly. Vol. 59, No. 1, 1996. Los Engles: Universiry of California.
Giddens, Anthony. Metode Sosiologi Kaedah-kaedah Baru.  Diterjemahkan oleh Eka Adinugraha & Wahmuji dari “New Rules of Sociological Methode A Positif Critique of Interpretative Sociologies”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Jones, Pip. Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsional hingga Teori Modern. Diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saifuddin dari “Intrudocing Social Theory”. Jakarta: Yayasan Obor, 2010.
Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press, 2014.
Moustakas, Clark. Phenomenological Research Methode. London: SAGE Publikations, 1994.
Nindito, Stefanus. “Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas dalam Ilmu Sosial” dalam Jurnal Ilmu Komunikasi.Vol.2, No.1, 2013. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Purnomo, Ignatius Eko. “Membumikan Konsep Epistemologi Dalam Pola Berpikir Siswa” dalam Jurnal Pendidikan Penabur No.20/Tahun ke-12/Juni 2013. Jakarta: BPK Penabur.
Ritzer, George. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, dkk. dari “Sociological Theory”  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasogama dari Contemporary Sosiological Theory. Jakarta: PT. Grasindo Perkasa.
Ritzer, George dan Barry Smart (Ed). Handbook Teori Sosial. Diterjemahkan oleh Derta Sri Widowati dari “Handbook of Social Theory”. Jakarta: Nusa Media, 2011.
Sokolowski, Robert (Ed). Studies in Philosophy and the History of Philosophy Vol.18. Washington DC: The Catholic University of America Press. 1988.
Suyanto, Bagong dan A. Khusna Amal (Ed). Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Aditya Media, 2010.

Umarela, Farid Hamid. “Etnometodologi Suatu Penelitian Kualitatif” dalam Jurnal Communique, Vol.2, No.1, Juli 2005. Jakarta: Universitas Pelita Harapan.