FALAK-ASTRONOMI DAN ILMU LAINNYA
“Keteraturan alam semesta yang begitu rumit dipelajari hingga berabad-abad tahun lamanya tidak pernah selesai sampai para ilmuwan mengetahui bagaimana alam ini berjalan pada suatu hukum yang teratur”. -Imas Musfiroh-
Friday 27 February 2015
RASI BINTANG CARINA IC2581
Carina IC 2581 merupakan salah satu gugus bintang yang berada di belahan langit Selatan. Carina merupakan bagian dari rasi lama Argo Navis. di dalam gugus bintang Carina terdapat bintang Canopus yaitu bintang tercerah kedua di langit malam, serta bintang mahapadat Eta Carinae yang merupakan sumber dari Nebula Eta Carinae (NGC 3372).
Gugus bintang ini akan menempati posisi paling tinggi di langit pada tengah malam ini waktu setempat (LMT), kira-kira pukul 00.04 WIB. Posisi yang tepat untuk observasi pada deklinasi -57 derajat 37 menit dari belahan Bumi Selatan. Rasi Bintang Carina tidak bisa diobservasi pada belahan Bumi Utara melebihi batas 12 derajat. Rasi ini tidak mudah dilihat hanya dengan mata telanjang, perlu memakai teropong, binokuler atau teleskop kecil.
enjoy for your observation .. !!
info lebih lanjut :
https://in-the-sky.org/newscal.php
Thursday 26 February 2015
KESALAHPAHAMAN TENTANG ISLAMISASI SAINS
Tulisan ini saya ambil ketika saat Kuliah Astronmi oleh Prof Thomas Djamaluddin,
Seorang teman yang tampaknya tengah terobsesi dengan
Islamisasi ilmu pengetahuan pernah menanyakan mengapa dalam makalah-makalah
ilmiah saya tidak pernah tercantum ayat-ayat Alquran. Tampaknya ia meyakini
bahwa mencantumkan ayat-ayat Alquran sebagai rujukan dalam makalah ilmiah
merupakan salah satu upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.
Dalam makalah ilmiah ilmu sosial yang mengkaji perilaku manusia
mungkin saja rujukan ayat-ayat Alquran tercantum, karena itu merupakan bagian
dari sistem nilai manusia yang mungkin sedang dikajinya. Dalam hal ini
rujukan-rujukan dari sumber Islami merupakan hal yang sahih dan sangat
dianjurkan bagi para pakar Islam. Itu merupakan salah satu upaya Islamisasi
ilmu sosial yang mungkin telah banyak diwarnai sistem nilai non-Islam.
Namun, dalam hal sains yang mengkaji perilaku alam,
tepatkah ayat-ayat Alquran dijadikan rujukan dalam analisis ilmiahnya? Atau
secara umum, perlukah Islamisasi sains?
Ketika saya menulis skripsi untuk mendapatkan sarjana
astronomi di ITB tentang gugusan bintang-bintang muda di galaksi Bimasakti yang
mengindikasikan bidang galaksi melengkung, kutipan ayat Alquran (Q.S. 3:191-192
tentang pentingnya merenungi alam semesta dan Q.S. 85:1 tentang pentingnya
memperhatikan gugusan bintang) hanya saya cantumkan di halaman depan skripsi,
tidak masuk dalam makalah utamanya. Alquran menjadi landasan iman dalam
mengkaji ayat-ayat Allah di alam semesta, tetapi tidak mungkin dijadikan
rujukan untuk memperkuat argumentasi saintifiknya.
Mengapa tidak mungkin? Ada contoh sederhana untuk
menjawabnya. Ketika menyusun desertasi S3 di Jepang yang mengkaji tentang
pembentukan bintang, dengan sengaja saya menuliskan kalimat pasif yang secara
implisit mengandung pengertian "bintang dibentuk", bukan terbentuk
sendirinya. Artinya ada peran Allah sebagai khaliq. Tetapi profesor pembimbing
saya mencoretnya dan mengganti kalimatnya sehingga lebih netral, tanpa nuasa konflik
keyakinan ada tidaknya Tuhan pencipta alam. Contoh sederhana ini menunjukkan
bahwa dalam sains, argumentasi ilmiah harus sepenuhnya berpijak pada landasan
yang dapat diterima bersama, apa pun agamanya.
Islamisasi Sains?
Ketika semangat Islamisasi ilmu pengetahuan muncul di
Pakistan pada masa Presiden Zia ul Haq pada awal 1980-an, Bashiruddin Mahmood,
Direktur Direktorat Energi Nuklir Pakistan bersama teman-temannya segera
menyambutnya dengan dengan mendirikan "Holy Quran Research Foundation".
Salah satu hasil kajiannya berupa buku "Mechanics of the Doomsday and Life
after Death: The Ultimate Fate of the Universe as Seen Through the Holy
Quran" (1987).
Sayang, obsesinya untuk mengislamisasi sains tampaknya
tidak mempunyai pijakan. Fenomena penciptaan dan kehancuran alam semesta yang
katanya ditinjaunya dari Alquran dianalisisnya tanpa menggunakan sains secara
utuh. Hasilnya, banyak kejanggalan dari segi saintifiknya. Di Indonesia,
publikasi serupa itu ada juga, misalkan oleh Nazwar Syamsu dan Fahmi Basya.
Semangat Islamisasi sains di Pakistan yang dirasakan
telah salah arah, menimbulkan kritik tajam dari Dr. Pervez Hoodbhoy, pakar
fisika partikel dan nuklir dari Quaid-e-Azam University, Islamabad. Atas saran
Prof. Abdus Salam (Penerima hadiah Nobel Fisika 1979), Hoodbhoy memaparkan
kritik-kritiknya atas upaya Islamisasi sains di Pakistan dalam bukunya
"Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for
Rationality" (1992). Baik Hoodbhoy maupun Salam sepakat bahwa upaya
Islamisasi Sains yang dimotori Presiden Zia ul Haq telah salah langkah dan
memalukan.
Secara spesifik, Hoodbhoy mengkritik beberapa kajian yang
oleh para pemaparnya -- di beberapa konferensi tentang Alquran dan sains --
dianggap sebagai sains Islam. Kajian-kajian yang dikritik tajam itu antara lain
tentang formulasi matematis tingkat kemunafikan, analisis isra' mi'raj dengan
teori relativitas, jin yang terbuat dari api sebagai energi alternatif, dan
formula kuantitatif pahala salat berjamaah sebagai fungsi dari jumlah jamaah.
Sebenarnya, adakah sains Islam? Dan perlukah Islamisasi
sains? Untuk menjawabnya, kita kembali mengkaji lebih dalam lima ayat yang
pertama kali turun kepada Rasulullah s. a. w. dan kita fahami prinsip dasar
sains.
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang
mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5).
Dalam makna yang umum, lima ayat yang turun pertama kali
ini tentunya bukan hanya perintah kepada Rasulullah s. a. w. untuk membaca
ayat-ayat qur'aniyah. Terkandung di dalamnya makna untuk membaca
ayat-ayat kauniyah yang terdapat di alam. Allah memberikan kemampuan
kepada manusia untuk itu.
Manusia yang diciptakan dari substansi serupa gumpalan
darah telah dianugerahi Allah dengan kemampuan analisis untuk mengurai
rahasia-rahasia di balik semua fenomena alami. Kompilasi pengetahuan manusia
kemudian didokumentasikan dan disebarkan dalam bentuk tulisan yang disimbolkan
dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini melahirkan sains dalam
upaya menafsirkannya. Ada astronomi, matematika, fisika, kimia, biologi,
geologi, dan sebagainya.
Dari segi esensinya, semua sains sudah Islami, sepenuhnya
tunduk pada hukum Allah. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan adalah
hukum-hukum alam yang tunduk pada sunnatullah. Pembuktian teori-teori yang
dikembangkan dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusiawi.
Secara sederhana, sering dikatakan bahwa dalam sains kesalahan adalah lumrah
karena keterbatasan daya analisis manusiawi, tetapi kebohongan adalah bencana.
Hukum konservasi massa dan energi yang secara keliru
sering disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi sering dikira
bertentangan dengan prinsip tauhid. Padahal itu hukum Allah yang dirumuskan
manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak
bisa dimusnahkan. Alam hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya
Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?
Demikian juga tetap Islami sains yang menghasilkan
teknologi kloning, rekayasa biologi yang memungkinkan binatang atau manusia
memperoleh keturunan yang benar-benar identik dengan sumber gennya. Teori
evolusi dalam konteks tinjauan aslinya dalam sains, juga Islami bila didukung
bukti saintifik. Semua prosesnya mengikuti sunnatullah, yang tanpa kekuasaan
Allah semuanya tak mungkin terwujud.
Jadi, Islamisasi sains sungguh tidak tepat. Menjadikan
ayat-ayat Alquran sebagai rujukan, yang sering dianggap salah satu bentuk
Islamisasi sains, juga bukan pada tempatnya. Dalam sains, rujukan yang
digunakan semestinya dapat diterima semua orang, tanpa memandang sistem nilai
yang dianutnya. Tegasnya, tidak ada sains Islam dan sains non-Islam.
Hal yang pasti ada hanyalah saintis Islam dan saintis
non-Islam. Dalam hal ini sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak
akan tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang
saintis kadang tercermin dalam pemaparan yang bersifat populer atau semi-ilmiah.
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan".
Maka, riset saintis Islam berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan
pemelihara alam serta hanya karena-Nya pokok pangkal segala niat. Atas dasar
itu, setiap tahapan riset yang menyingkapkan satu mata rantai rahasia alam
semestinya disyukurinya dengan ungkapan "Rabbana maa khaalaqta haadza
baathilaa, Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia" (Q.
S. 3:191), bukan ungkapan bangga diri.
ANALISIS PEMIKIRAN MOHAMMAD ILYAS TENTANG KALENDER ISLAM INTERNASIONAL (INTERNATIONAL ISLAMIC LUNAR CALENDER)
By: Imas Musfiroh
I . PENDAHULUAN
Dalam kehidupan, umat manusia membutuhkan kalender
sebagai pengatur dan pembagi waktu. Terutama bagi umat Islam, kebutuhan akan suatu
kalender merupakan hal yang sangat urgen karena banyak ibadah umat Islam yang
terkait dengan waktu. Seperti ibadah
haji, ibadah puasa Ramadhan dan sebagianya. Saat ini, terdapat dua sistem
kalender atau penanggalan yang didasarkan pada waktu-waktu peredaran
benda-benda langit. Pertama, Kalender
Masehi yaitu sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran rata-rata Bumi
mengelilingi Matahari (Solar System).
Kedua, Kalender Hijriyah yaitu
penanggalan yang didasarkan pada rata-rata peredaran bulan mengelilingi bumi (Lunar System). Kalender Hijriyah inilah
yang dibutuhkan dan dipakai umat Islam dalam melaksanakan ibadah-ibadahnya.
Namun, selama bertahun-tahun, fenomena yang sering terjadi
di tengah-tengah umat Islam di
seluruh dunia yaitu tentang perbedaan dalam permulaan puasa dan hari raya besar
dalam Islam. Di Indonesia misalnya, perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri
bulan Qamriyah memiliki beberapa kriteria yang di dalamnya tidak terlepas dari
hisab dan rukyat. Kriteria membawa dampak ketidakpastian Kalender Islam secara
ajeg. Maka perlu adanya penyauan kalender Islam secara universal.
Salah satu penggagas
dalam mempersatukan kalender islam adalah Mohammad Ilyas yang tertuang dalam
konsepnya “ International Islamic Lunar Calender” yang sering terkenal dengan
Kalender Islam Internasional. Gagasan ini muncul akibat adanya perbedaan yang sering
terjadi dalam mengawali dan mengakhiri awal bulan Qamariyah. Dalam konsep ini
Mohammad Ilyas berharap seluruh umat Islam diseluruh dunia mempunyai satu
kalender Islam yang tetap. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang
konsep-konsep gagasan Mohammad Ilyas dalam menyatukan kalender islam
inetrnasional.
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Mohammad Ilyas
Mohammad
Ilyas merupakan salah satu penggagas Kalender Islam Internasional, dilahirkan
di India dan kini menetap di Malaysia sebagai guru besar tamu University
Malaysia Perlis. Sebelumnya, ia adalah guru besar Sains dan Atmosfira di
University Sains Malaysia. Ia juga merupakan salah seorang penggagas dan
konsultan ahli berdirinya Pusat Falak Sheikh Tahir di Pulau Pinang. Mohammad
Ilyas telah banyak memberikan sumbangan di bidang pengembangan ilmu falak,
khususnya tentang kalender islam. Ia menggagas konsep “garis qamari antar
bangsa” atau biasa diistilahkan dengan International
Lunar Date Line (ILDL). Bagi Ilyas persoalan kalender Islam tidak
semata-mata persoalan sains, tapi perlu melibatkan kekuatan politik.[1]
Ilyas
merupakan tokoh yang produktif memperkenalkan ide-idenya melalui berbagai buku
dan jurnal. Hingga tahun 1998, Ilyas telah menghasilkan 11 judul buku dan 150
artikel yang dimuat di berbagai jurnal nasional maupun internasional. Karya-karya
Mohammad Ilyas yang dimksud di antaranya adalah A Modern Guide to Astronomical Calculations of Islamic Calender, Times
and Qibla yang pertama kali pada tahun
1984 M / 1405 H oleh Berita Publishing Kuala Lumpur dan dicetak ulang
oleh Washington DC pada tahun 1992 M/ 1413 H, International Islamic Calender, Calender ini Islamic Civilzation Modern
Issues, Islamic Astronomy and Science Development: Glorious Past, Challenge
Future, dan Towards A Unified World
Islamic Calender. (Azhari, 2008: 148). Melalui konsep-konsep pemikirannya
inilah Mohammad Ilyas dikenal sebagai penggagas Kalender Islam Internasional.
B. Gagasan Mohammad Ilyas tentang Kalender Islam
Internasional
1. Sistem kalender islam
Kalender merupakan sebuah sistem untuk
memberikan nama atau tanda pada periode-periode waktu yang terbagi dalam hari,
tanggal dan tahun. Hari merupakan bagian unit terkecil dalam sebuah kalender.
Sementara untuk pembagian dalam sebuah hari meliputi sistem perhitungan waktu
seperti jam, menit dan detik. Istilah
kalender bisa disebut juga dengan tarikh,
taqwim, almanak dan penanggalan. Istlilah-istilah tersebut pada prinsipnya
memiliki makna yang sama.[2]
Secara umum terdapat tiga sistem
kalender dilihat dari acuannya pada siklus benda langit. Pertama, sistem kalender Masehi (Syamsiyyah) atau solar calendar, yaiut sistem kalender
yang perhitungannya berdasarkan pada perjalanan bumi saat melakukan revolusi mengorbit
pada matahari. Kedua, kalender
Hijriyah (Qamariyah) atau lunar calendar
yang berdasarkan pada perjalanan bulan selama mengorbit bumi. Ketiga, lunisolar calendar, yang merupakan gabungan atas kedua sistem di
atas. Kalender lunisolar memiliki urutan bulan yang mengacu pada siklus fase
bulan, namun pada setiap tahun tertentu ada sebuat sisipan (intercalacy month). Sisipan ini
diberikan agar kalender ini tetap sinkron dengan kalender musim (solar
calender), seperti Kalender Yahudi, China dan Kalender Arab pra-Islam.[3]
Adapun kalender Islam adalah murni lunar
kalender yang mengikuti siklus fase bulan mengelilingi bumi tanpa adanya
keterkaitan dengan tahun tropis. Kalender islam terdiri dari dua belas bulan
Qamariyah dan awal bulannya dimulai dari Muharram dan diakhiri dengan bulan
Dzulhijjah. Untuk permulaan tanggal 1 dalam bulan hijriyah ditandai dengan
munculnya hilal di atas ufuk setelah matahari terbenam. Kalender Islam ini
mulai dikenalkan oleh Ummar bin Khatab dengan mendasarkan pada hijrah Nabi SAW dari
Mekkah ke Madinah.
2. Dasar Pemikiran Mohammad Ilyas tentang Kalender
Islam Internasional
Munculnya suatu gagasan tidak terlepas
dari adanya setting sosial masyarakat sekitar yang membentuknya. Setting
tersebut baik berupa situasi dan kondisi politik, budaya, ekonomi atau bahkan
agama. Salah satu gagasan yang dibentuk oleh Mohammad Ilyas merupakan bukti
konkrit bahwa gejala sosial mengakibatkan timbulnya suatu pemikiran untuk menyelesaikan
permasalahan tersbut. Mohammad Ilyas tergerak untuk menyatukan dan mendamaikan
umat Islam di seluruh dunia dengan menggagas Kalender Islam Internasional.
Gagasan ini bermula dari gejolak sosial di Malaysia yang mana umat terbagi
dalam beberapa kelompok tradisionalis, modernis dan reformis. Gejala ini timbul
dari adanya pemahaman yang berbeda-beda mengenai Kalender Islam. Hal inilah
yang mengakibatkan Mohammad Ilyas merasa bertanggung jawab terhadap problem ukhuwah islamiyah dalam rangka mendesain
kebangkitan bangsa.
Gagasan penyatuan Kalender Islam
Internasional direalisasikan melalui proyek besar kalenderisasi Islam
Internasional. Proyek tersebut dilaksanakan melalui International Islamic Calender Program (IICP) yang bermarkas di
Universitas Sains Malaysia, Penang. Hasil-hasil riset ini kemudian disebarkan
ke Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI),
kemudian didialgokan melalui pertemuan-pertemuan regional dan internasional.
Misalnya Konferensi Penyatuan Awal Bulan Qamariyah di Istanbul-Turki pada
tanggal 26-29 Zulhijjah 1398H/ 27-19 Nopember 1978 M, seminar penanggalan Islam
Internasional pada tanggal 8-10 Juni 1988 di Malaysia. [4]
Melalui proyek IICP ini, Mohammad Ilyas
selain ingin membangkitkan ukhuwah islamiyah
di kalangan umat Islam yang semakin memudar karena sering terjadinya perbedaan
dalam penetapan awal bula Qamariyah. Kalender Islam Internasional yang digagas
oleh Mohammad Ilyas ini bukan dimaksudkan untuk berhari raya secara serempak
seluruh umat Islam di dunia, karena jelas tidak mungkin. Yang diingankan
Mohammad Ilyas adalah bagaimana menemukan teori-teori yang holistic sehingga dapat dirancang sistem tunggal dalam penyusunan
Kalender Islam Internasional. Menurtnya, belum adanya Kalender Islam Internasional
sebagai bukti ketertinggalan umat Islam dalam bidang sains dan teknologi.
Karena itu, perlu kerja keras dan mimpi besar untuk mewujudkannnya melalui
peningkatan pemahaman masyarakat tentang Kalender Islam Internasional.[5]
3. Gagasan Mohammad Ilyas dalam menyatukan Kalender
Islam Internasional
Sebelum memperkenalkan dua konsep hasil gagasan Mohammad Ilyas, perlu
diketahui tentang pembagian zona waktu yang diusulkan oleh ilyas ke dalam tiga
zona waktu. zona Asia-Paisifk, Zona Eropa, Asia Barat dan Afrika, Zona Amerika.
Dalam merealisasikan hasil gagasannya, Mohammad Ilyas membuat konsep
Kalender Islam Internasional yang terdiri dari dua metode pokok. Pertama, astronomical prediction method of new moon’s visibility dan use of the prediction method on a global
scale.[6]
a) Astronomical prediction method of new moon’s
visibility
Oleh
karena yang menjadi acuan permulaan awal bulan Qamariyah adalah new crescent (hilal), maka konsep
pertama yang ditawarkan Mohammad Ilyas dalam penyatuan kalender islam
interansional adalah “astronomical prediction method”. Konsep ini merupakan
konsep yang dibuat dengan memperhitungkan (hisab) kemungkinan hilal dapat
dilhat (imkanurrukyat). Awal bulan dinyatakan telah terjadi apabila pada saat
matahari terbenam kemudian hilal di atas ufuk dan hilal tersebut ada
kemungkinan untuk dilihat (observation/rukyat). Dalam hal ini yang menjadi
acuan adalah penentuan kriteria “visibilitas hilal” untuk dapat teramati.
Adapun
visibilitas hilal yang membentuk kriteria astronomical
prediction method (imkanurrukyat) adalah sebagai berikut:[7]
1)
Beda
tinggi bulan-matahari minimum yang memungkinkan hilal dapat teramati adalah 4
derajat dengan ketentuan beda azimut antara bulan-matahari lebih dari 45
derajat. Namun, jika beda azimutnya 0 derajat, maka beda tinggi antara
bulan-matahari haruslah mencapai 10.5 derajat.
2)
Selain
itu, sekurang-kurangnya lamanya bulan di atas ufuk adalah 40 menit lebih lambat
terbenam daripada matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar untuk daerah
di lintang tinggi, terutama pada musim dingin.
3)
Hilal
juga harus berumur lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropis dan berumur
lebih dari 20 jam bagi pengamat di lintang tinggi.
Visibilitas
hilal yang dikonsep Mohammad Ilyas ini merupakan penyempurnaan dari berbagai kriteria
visibilitas hilal para penemu sebelumnya. Dengan mengurangi kekurangan yang ada
serta menambahkan kemungkinan kelebihan yang dapat diambil, Moh.Ilyas
merumuskan konsepnya sendiri.
Konsep
kriteria visibilitas hilal merupakan konsep yang dirancang dengan melakukan perjalanan panjang. Konsep kriteria
ini telah dimulai sejak era Babilonia yang memilki kriteria Babilon dan dikenal
memiliki bentuk yang paling sederhana.[8]
Astronomical prediction
method / hisab imkanurrukyat ini tidak hanya
dilakukan di wilayah lokal saja (pada tempat tertentu), melainkan dilakukan
secara global. Hal ini dimaksudkan melakukan perhitungan (hisab) di berbagai
tempat di muka bumi untuk menentukkan titik imkanurrukyat. Misalnya saja, hisab
dimulai dari garis lintang 0° guna menemukan titik mana di garis tersebut hilal
mungkiin terlihat pertama kali. Kemudian dilakukan hisab pada garis lintang
berikutnya ke Utara dan ke Selatan dengan interval 5° sampai 15° guna menemukan
titik-titik imkanurrrukyat pada garis itu.
Apabila
semua telah melakukan perhitungan dan telah diketahui pula titik-titik
imkanurrukyatnya, maka titik-titik visibilats hilal pertama yang dirukyat
tersebut dihubungkan satu sama lainnya dengan garis lengkung (parabolik atau
semi parabolik) yang lengkungannya menjorok ke Timur. Garis itu akan memisahkan
dua kawasan Bumi yaitu kawasan sebelah Barat garis dan kawasan sebelah Timur
garis. Kawasan sebelah Barat adalah kawasan yang mungkin bisa merukyat hilal
dan kawasan Timur adalah kawasan yang tidak mungkin bisa melihat hilal. Garis
inilah yang disebut sebagai garis tanggal Qamariyah internasional atau International Lunar Date Line (ILDL).
b) International Lunar Date Line (ILDL)
International Lunar
Date Line (ILDL) atau lebih sering dikenal dengan
istilah garis tanggal Qamariyah Internasional merupakan gagasan orisinil Mohammad
Ilyas pada tahun 1978. Gagasan ini diklaim sebagai proyek untuk masa depan umat
yang berusaha mengubah local oriented menjadi global oriented. Dengan menggunakan
Garis Tanggal Qamariyah Internasional akan mudah ditentukan usia bulan (29 atau
30 hari) di sutau tempat di permukaan Bumi. Bagi Ilyas, garis tersebut
digunakan karena paling mudah menghitungnya dan bisa dipakai sebagai pemandu
awal oleh pengguna rukyat terpandu hisab sebelum menghitung data rukyat local.[9]
Konsep
ILDL ini berdasarkan pada terlihatnya hilal sedini mungkin pada tingkat global,
tetapi menggunakan pendekatan usia yang sama pada waktu matahari terbenam dalam
mewujudkan garis penampakkan global. Ini juga menghasilkan teknik kontruksi
garis usia sama. Pada akhir tahun 1978 dibangun pula sistem perhitungan global
yang makin canggih di tahun-tahun berikutnya. Sistem ini memungkinkan konsep
ILDL yang sudah mapan itu dipahami dengan lebih cepat.
Garis
Tanggal Qamariyah Internasional membagi bumi dalam dua bagian, bagian pertama
adalah bagian yang pada saat maghrib bulan masih di bawah ufuk dan bagian kedua
adalah bagian bulan yang telah berada di atas ufuk ketika waktu maghrib.
Seperti halnya Garis Tanggal Internasional (International
Date Line yang berlaku sekarang) yang emnjadi fungsi garis batas tanggal
Masehi, ILDL juga berfungsi sebagai garis batas tanggal Qamariyah. Karena
penampakkan hilal yang tidak tetap setiap bulannya, maka ILDL ini muncul secara
berpindah-pindah dari bulan ke bulan. Namun, pembagian ini menjadikan pemikiran
Moh.Ilyas tetap mewariskan problem klasik yakni persoalan mathla’.[10]
Garis Tanggal Qamariyah Internasional adalah
pengembangan dari garis tinggi nol derajat, di mana ia menghubungkan titik-
titik di permukaan bumi yang bisa melihat hilal dengan bantuan teleskop atau
binokuler dalam kondisi cuaca cerah beberapa saat setelah terbenamnya Matahari.
Konsep ILDL sama dengan konsep Garis Tanggal Internasional yang digunakan dalam
penanggalan Gregorian (Masehi). Bedanya, jika Garis Tanggal Internasional
selalu tetap (yakni pada garis bujur 180 derajat), maka letak ILDL selalu
berubah-ubah bergantung pada konfiggurasi Bulan-Matahari saat itu dan dari satu
konjungsi ke konjungsi berikutnya.[11]
C. Analisis Pemikiran Mohammad Ilyas tentang
Kalender Islam Internasional
Gagasan
penyatuan kalender Islam Internasional yang dikemukakan Ilyas memiliki dua
kriteria utama yakni Astronomical
Prediction Method and International Lunar Date Line memberikan wacana baru
pada konteks keilmuwan dalam bidang falak. Dalam konteks garis tanggal yang
akan dilewati oleh garis ILDL terkait erat dengan wilayah yang mana suatu
Negara akan terlewati garis 0 derajat. Konsep ini memudahkan untuk mengetahui
wilayah mana saja yang memungkinkan hilal akan bisa terlihat dan tidak di
seluruh permukaan bumi. Namun, garis tanggal ini menyisakan masalah yaitu mathla’ yang diakibatkan garis tanggal
Qamariyah internasional yang selalu berubah-ubah.
Untuk
wilayah Indonesia, kriteria visibilitas hilal juga perlu pengkajian ulang.
Karena di Indonesia sendiri masih mengalami polemik mengenai visibilitas itu
sendiri. Batas visibilitas hilal yang mungkin terlihat (rukyat) adalah 2
derajat sebagaimana yang ditawarkan dalam kriteria MABIMS. Sehingga perlu
kajian dan observasi yang konsisten dan berkualitas agar dapat menghasilkan
data yang akurasinya dapat dibuktikan secara empiris.
Dengan
demikian, sesungguhnya konsep Kalender Islam Internasional yang digagas oleh
Mohammad Ilyas belum bisa menyelesaikan masalah perbedaan kalender hijriyah.
Namun, konsepnya telah mampu membuka mata Internasional bahwa pentingnya
penyatuan Kalender Hijriyah Internasional sebgaai persatuan umat yang terpecah
bela dalam mengawali awal bulan Qamariyah. Dengan penelitian dan dialog
universal yang berkesinambungan, maka tidak dapat dipungkiri konsep penyatuan
Kaelnder Islam Internasional bisa terealisasikan.
III.
KESIMPULAN
Gagasan
Mohammad Ilyas dalam penyatuan kalender islam secara menyeluruh (internasional)
memiliki dua kriteria utama yakni Astronomical
Prediction Method atau Hisab Imkanurrukyat dan International Lunar Date Line (ILDL) yang lebih dikenal dengan
Garis Tanggal Qamariyah Internasional. Gagasan ini mempunyai kelebihan yaitu
memudahkan untuk menetapkan tanggal baru pada bulan Qamariyah yang didasarkan
pada perkiraan hilal dapat terlihat di suatu tempat di permukaan bumi dan
berlaku untuk seluruh wilayah secara universal. Namun, gagasan ini masih
menyisakan masalah tentang garis tanggal yang selalu berpindah-pindah yang
diakibatkan oleh konfigurasi bulan-matahari yang selalu berubah-ubah dari satu
konjungsi ke konjungsi berikutnya, sehingga memberikan ketidakpastian garis 0
derajat yang berubah-ubah.
DAFTAR PUSTAKA
Azhari,
Susiknan. Hisab dan Rukyat Wacana untuk
Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet
I. 2007.
. Ensiklopedia Hisab Rukyat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Cet II. 2008.
. Penyatuan Kalender Islam, Satukan Semangat
Membangun Kebersamaan Umat. Kumpulan Papers Lokakarya Internasional
Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, Penyatuan
Kalender Hijriyah (Upaya Pencarian Kriteria Hilal yang Obyektif Ilmiah).
2012.
Ilyas,
Mohammad. A Modern Guid to Astronomical Calculations
of Islamis Calender, Times & Qibla. Kuala Lumpur: Berita Publishing
Sdn. Bhd. 1984.
. Astronomical
of Islamic Calender. Kuala Lumpur: Pustaka Hayati. Cet. I. 1997.
Sudibyo,
Muh. Ma’rufin. Data Observasi Hilal
2007-2009 di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia. 2012.
Saksono,
Tono. Mengkompromikan Rukyat dan Hisab.
Jakarta: PT. Amtythas Publicita. 2007.
[1] Susiknan Azhar. Ensiklopedia
Hisab Rukyat. 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm: 147
[4] Susiknan Azhari. Ensiklopedia
Hisab Rukyat.. hlm: 27-28
[5]Susiknan Azhari. Penyatuan Kalender Islam, Satukan Semangat Membangun
Kebersamaan Umat. Kumpulan
Papers Lokakarya Internasional Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, Penyatuan Kalender Hijriyah (Upaya
Pencarian Kriteria Hilal yang Obyektif Ilmiah). 2012. Hlm: 84-85
[6] Mohammad Ilyas, Astronomical of
Islamic Calender. Kuala Lumpur: Pustaka Hayati. Cet. I. 1997. Hlm: 9
[7] Mohammad Ilyas, Astronomical
of Islamic Calender,.. Cet I. 1997. Hlm: 97-98.
[8] Ma’arufin Sudibyo. Data Observasi Hilal 2007-2009 di Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia. 2012. Hlm: 2-3. Baca juga Mohammad Ilyas, Astronomical of Islamic Calender. 1997.
Hlm: 11
[9] Mohammad Ilyas. A Modern Guid to Astronomical Calculations of Islamis
Calender, Times & Qibla. Kuala Lumpur: Berita
Publishing Sdn. Bhd. 1984.Hlm: 114
[10] Susiknan Azhari. Azhari, Susiknan. Hisab
dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Cet I. 2007. Hlm: 31
[11] Mohammad Ilyas. A Modern Guid to Astronomical Calculations of Islamis
Calender, Times & Qibla…hlm: 115
STATE OF THE ART FENOMENOLOGI DAN ETNOMETODOLOGI
Oleh: Tri Astutik Haryati
A. Pendahuluan
Pada
tahun 1960-an hingga tahun 1970-an terdapat beberapa pendekatan dalam
penelitian kualitatif yang menaruh perhatian pada praktik interpretatif (Denzin
& Lincoln, 1994: 262). Jika dilihat secara umum, keragaman di dalamnya mengindikasikan
bentuk perbedaan pemikiran. Akan tetapi, di balik semua itu terdapat beberapa
kesamaan tema dan interkoneksi yakni memberi penekanan pada persoalan bahasa
dan makna terkait dengan “pemahaman interpretatif” atas tindakan manusia.
Pendekatan-pendekatan
tersebut adalah (Giddens, 2010: 2-3): Pertama,filsafat hermeneutik (Geisteswissenschaften)
yang berasal dari Jerman. Sentralitas di dalamnya berdasarkan konsep Verstehen
dalam studi prilaku manusia dan diferensiasi radikal antara persoalan ilmu-ilmu
sosial dan ilmu-ilmu alam. Seseorang yang dipengaruhi oleh pemikiran ini adalah
Max Weber—meskipun pada saat yang sama sangat kritis terhadapnya. Melalui
tulisan-tulisannya, verstehen dikenal luas di kalangan ilmuan sosial. Kedua,
filsafat bahasa sehari-hari dari Ludwig Josef Wittgenstein yang berdasarkan
pada filsafat Anglo-Saxon dan selanjutnya dikembangkan oleh John Langshaw. Ketiga,
fenomenologi—dalam hal-hal tertentu berfungsi semacam broker diantara kedua
pendekatan sebelumnya. Hal ini karena Alfred Schutz (perintis fenomenologi
sosial) menjadikan Edmund Husserl sebagai sumber inspirasi pemikirannya. Schutz
juga menghubungkan antara Husserl dengan Weber. Sehingga secara tidak langsung
terhubung pada tradisi Geisteswissenschaften. Pemikiran Alfred Schutz
menjadi titik pijak pemikiran Harold Garfinkel (perintis etnometodologi) dan
dihubungkan dengan gagasan Wittgeinstein dan Austin.
Adapun
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah State of the Art (kemunculan sampai
perkembangan terkini) fenomenologi dan etnometodologi yang berhubungan dengan
praktik interpretatif. Meskipun terdapat titik temu didalamnya, namun setiap
pendekatan sebenarnya berbeda dan memiliki ciri khas masing-masing. Semuanya
berpijak pada tradisi fenomenologis, namun jalur analitis yang bersumber dari
prinsip-prinsip dasarnya berkembang dan bercabang menjadi aliran
konstruksionis, etnometodologis, percakapan analitis, dan interpretatif.
Pembahasan ini akan dimulai dengan mengupas prinsip-prinsip fenomenologis.
B. Fenomenologi
1. Pengertian dan Setting Historis-Filosofis Fenomenologi
Fenomenologi
merupakan derivasi dari bahasa Yunani phainomenon, akar katanya adalah phaenisthai
yang berarti to flare up,to show itself, dan to appear (Moustakas,
1994: 26). Phainomenon berarti yang menggejala atau yang menampakkan
diri; sedangkan logos berarti ilmu. Jadi fenomenologi berarti ilmu
tentang fenomena atau sesuatu yang menampakkan diri. Menurut George Ritzer dan
Barry Smart (2011:460), fenomena dibedakan dengan noumena. Jika fenomena adalah
penampakan (appearance), maka noumena adalah realitas (reality).
Dalam artian ini, fenomenologi adalah perspektif yang membedakan antara dunia
fenomena dengan dunia noumena yang tidak muncul di dalamnya. Fenomenologi juga
disebut sebagai ilmu tentang “makna”. Dalam pandangan fenomenolog, “dunia
kehidupan” adalah alam semesta tanda-tanda yang memerlukan penafsiran yang
tidak pernah selesai (Lubis, 2014: 220).
Fenomenologi
sebenarnya bersumber pada filsafat Skolastik abad pertengahan dan empirisme
abad modern. Istilah fenomenologi ditemukan dalam tulisan Immanuel Kant (1724-1804)
tahun 1765. Kant mengemukankan istilah fenomena sebagai lawan dari noumena. Sedangkan
dalam pemikiran GWF. Hegel (1770-1831), pengertian fenomenologi dikonstruksi
dalam definisi yang lebih bersifat teknis. Fenomena mengacu kepada pengetahuan
yang nampak dalam kesadaran. Fenomena juga digunakan oleh Hegel untuk
menjelaskan penampakan diri dari Roh Absolut (Moustakas, 1994: 26).
Sedangkan
fenomenologi sebagai sebuah gerakan filsafat yang muncul di Jerman awal abad
ke-20, tidak bisa dilepaskan dari Edmund Husserl (1859-1938) sebagai founding
fathers. Husserl menjadikan fenomenologi sebagai metode ketat untuk
memperoleh teori yang benar dan pasti—sebuah skema filsafat yang melampaui
pengetahuan empiris. Dalam perspektif umum, fenomenologi adalah ciri pemikiran
modern yang berusaha memahami seluruh dunia pengalaman dari sudut pandang objektif
dan subjektif. Tradisi empiris-objektif, menjelaskan bahwa kesadaran sebagai
alat untuk mempersepsi realitas yang terpisah dengan subjek. Sedangkan tradisi
idealis-subjektif, menafsirkan dunia melalui daya ekspresif yang inhern dalam kesadaran
(Ritzer & Smart, 2011: 462).
Keduanya
memiliki titik temu dalam rangka menjembatani
jurang pemisah yang amat dalam antara realitas dan penampakan. Dan
rekahan tempat terjadinya jurang itu ada dalam pemikiran modern. Dalam terminologi Cartesian, kesadaran
terletak pada subjek, sedangkan kesadaran dalam pandangan Husserl tersusun dari
relasi internal antara subjek dengan objek (Giddens, 2010: 5). Meskipun
demikian, Husserl tidak pernah mengklaim telah mengungkapkan dasar pertemuan
transendental antara subjek dan objek dalam satu kesatuan yang lebih tinggi.
Sebaliknya, Husserl memfokuskan perhatian pada self-experience yang
harus dibebaskan dari otoritas eksternal—sebuah kesadaran murni. (Moustakas,
1994: 28; Ritzer & Smart, 2011: 464). Kesadaran yang dimaksud Husserl
adalah kesadaran yang bersifat ‘intensional’ (terinspirasi dari gurunya yakni
Franz Brentano) yakni kesadaran yang terbentuk dari relasi antara subjek dengan
objek (Giddens, 2010: 4-5; Lubis, 2014: 207).
Untuk
bisa memahami konsep Husserl tentang intensionalitas, maka ada dua istilah dalam bahasa Yunani yang terkait yakni noesis
dan noema. Noesis berarti “tindakan kesadaran”, sedangkan noema,
berarti “objek kesadaran” (Moustakas: 1994: 69-70). Contoh noesis:
memikirkan, memandang, membayangkan; sedangkan contoh noema (objek
kesadaran) dapat berbentuk sesuatu yang bersifat fisikal maupun mental. Antara noesis
dan noema memiliki hubungan yang bersifat kolektif. Dengan kata
lain, tindakan kesadaran (noesis) senantiasa mengarah pada objek kesadarn
(noema).
Selain
itu dalam fenomenologi Husserl, ada beberapa istilah yang harus dipahami,
antara lain: epoché, reduksi,
intensionalitas, dan lebenswelt. Pertama: epoché adalah metode
penundaan atau pengurungan asumsi, praduga, penilaian, dan pengandaian atas
fenomena (realitas) (Moustakas, 1994: 33). Kedua,reduksi (penyaringan) dalam
epoché untuk mendapatkan hakikat. Dalam hal ini ada tiga reduksi yaitu:
1). Reduksi fenomenologis, sebuah sikap penyaringan pengalaman pribadi yang
bersifat indrawi dan subjektif. Tujuannya agar pengertian suatu objek tidak
terdistorsi oleh praduga, penilaian, pra-anggapan, dan sebagainya. 2). Reduksi
eidetis untuk menemukan eidos (esensi) yang tersembunyi atau hakikat
yang sebenarnya. 3). Reduksi transendental, yakni reduksi terhadap subjek dalam
arti subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri (Lubis, 2014: 211). Ketiga,
intensionalitas kesadaran yakni kesadaran yang selalu terkait dengan objek
dan seluruh reduksi fenomenologis, dimana kesadaran mampu menyingkirkan dunia
empiris. Fokus Husserl adalah sutau ‘tindakan perumusan gagasan’ (ideation)
dalam pengetahuan empiris dengan memberi epoché (tanda kurung) semua
kekhususan empiris hingga menembus pokok kesadaran dalam konsep fenomenologi
transendental(Giddens, 2010: 4-5; Moustakas, 1994: 27). Keempat, lebenswelt atau
dunia pengalaman, dunia yang dihayati, atau dunia sehari-hari. Lebenswelt
mengacu pada dunia yang belum ditafsirkan baik itu oleh pengetahuan ilmiah
maupun filsafat (Lubis, 2014: 211). Dalam fenomenologi transendental, ‘dunia
keseharian’ dan ‘prilaku alamiah’ ditempatkan sebagai sarana untuk melihat
eksistensi hingga ke dalam aspek yang paling pokok dan bebas dari bias dalam
rangka menuju kesadaran murni (Giddens, 2010: 8).
Para
penulis yang terpengaruh pemikiran Husserl
merujuk pada argumen filosofis di atas. Asumsi filosofis dalam tulisan mereka
berdasarkan persoalan yang sama yakni studi tentang ‘pengalaman hidup’ sebagaimana
juga dilakukan oleh Talcott Parsons. Adapun para penerus fenomenologi Husserl
yang menjadikan fenomenologi sebagai studi tentang fenomena kehidupan
keseharian manusia adalah Alferd Schutz, Martin Heiddeger, Jean Paul Sartre,
Max Scheller, Herbert Mead, dan Maurice Merleau Ponty (Creswell, 2014: 106).
Dari
sekian banyak pengikut Husserl, yang mengaplikasikan gagasan fenomenologi
sebagai dasar bagi sebuah ilmu tentang prilaku sosial adalah Alferd Schutz.
Jika fenomenologi Husserl bersifat filosofis, maka fenomenologi Schutz bersifat
sosiologis dengan pusat perhatian tertuju pada ‘tindakan alamiah’ manusia di
lingkungan sosialnya.
2. Fenomenologi Alfred Schutz
Alfred Schutz adalah
orang yang pertama kali menyusun konsep fenomenologi secara sistematis dan
komperhensif (Nindito, 2013). Pemikiran fenomenologi Schutz—baik
secara langsung maupun tidak—diilhami oleh pemikiran Edmund Husserl dan Max
Weber. Schutz mensintesa kedua pemikiran sehingga terbentuk sebuah harmonisasi
kemudian dijadikan modal utama dalam membangun pendekatan
sosiologi fenomenologis.
Aspek
utama dalam pemikiran Husserl adalah bahwa ilmu pengetahuan selalu berpijak
pada ‘sesuatu yang eksperiensial’ (bersifat pengalaman). Hubungan antara persepsi
dengan objek tidak bersifat pasif, karena kesadaran manusia secara aktif
mengandung objek-objek pengalaman. Prinsip ini kemudian menjadi pijakan bagi
setiap penelitian kualitatif tentang praktik dan prilaku yang membentuk
realitas (Denzin & Lincoln,1994: 263).
Schutz kemudian melanjutkan pemikiran Husserl dengan
mengkaji cara-cara anggota masyarakat dalam menyusun dan membentuk ulang pengalaman
hidup sehari-hari. Schutz memulai tulisannya dengan
penjelasan dari Weber tentang ‘tindakan bermakna’. Weber
menyebut metode yang dikembangkan sebagai verstehen yakni memahami
tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (Jones, 2010: 114).
Caranya adalah dengan mengenal secara
lebih mendalam peristiwa yang mendahului fenomena dan merefleksikan makna subjektif
yang bersifat kompleks. Perhatian Weber berorientasi pada tujuan dan motivasi
pelaku. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Weber hanya tertarik pada
kelompok kecil masyarakat atau interaksi spesifik antar individu, karena Weber
juga memperhatikan perubahan sosial yang terjadi. Dia meyakini bahwa cara terbaik
untuk memahami berbagai masyarakat adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal
tindakan yang menjadi ciri khasnya. Weber merekonstruksi makna di balik
kejadian sejarah yang menghasilkan struktur sosial dan dipandang secara unik
(Jones, 2010: 114). Pemikiran Weber tersebut selanjutnya dijadikan sebagai
landasan ontologis bagi Schutz dalam mengembangkan sosiologi fenomenologis. Kemudian
ia mengembangkan dan melengkapinya serta memperluas menjadi studi tentang
prilaku alamiah—atau dalam istilah Schutz disebut sebagai ‘pemahaman umum’ atau ‘dunia sehari-hari’
(Giddens, 2010: 10).
Schutz kemudian
mengkritik pemikiran Weber tentang “tindakan bermakna”. Menurutnya, Weber tidak
mampu memberikan penjelasan tentang dua hal: 1). Tindakan aktor sebagaimana dipertentangkan
dengan prilaku reflektif, aktor ‘melekatkan suatu makna’ pada apa yang dia
lakukan; 2). Dalam tindakan sosial, bagaimana aktor mengalami orang lain
sebagai orang yang terpisah dari pengalaman subjektif mereka (Giddens, 2010:
10)? Lebih lanjut menurut Schutz, pembahasan Weber tidak mempertimbangkan fakta
bahwa tindakan manusia bersifat episodik (dalam pengertian Henri L Bergson
adalah pengalaman yang sedang dijalani). Sehingga Weber tidak melihat
ambiguitas dalam konsep tindakan. Melekatkan makna pada tindakan yang sedang
dijalani adalah tidak tepat karena subjek berada di dalam tindakan itu sendiri.
Sedangkan melekatkan makna pada pengalaman berarti pandangan reflektif atas
tindakan yang dilakukan oleh seorang aktor—suatu tindakan retrospektif pada
tindakan-tindakan yang telah selesai dijalani. Sehingga menjadi semakin keliru
untuk mengatakan bahwa pengalaman secara instrinsik mengandung makna. Jadi
dalam pandanagn Schutz “hanya apa yang telah dialami saja yang memiliki makna,
bukan apa yang sedang alami”.
Kategorisasi
refleksif atas tindakan bergantung pada pengidentifikasian maksud atau rencana
yang berusaha dicapai aktor. Sebuah rencana ketika telah dicapai, akan mengubah
aliran transitoris pengalaman menjadi sebuah episode yang terselesaikan. Schutz mengkritik Weber karena tidak
menyadari perbedaan rencana sebuah tindakan—orientasinya pada pencapaian di
waktu mendatang—dari motif ‘sebab’ tindakan tersebut. Dimana rencana atau motif
‘dalam rangka’ tidak memiliki arti eksplanatoris di dalamnya (Giddens, 2010:
11). Pembedaan Schutz antara motif ‘sebab’ (because motive) dengan motif
‘dalam rangka’(in order to motive) merupakan usahanya untuk memperbaiki
pembedaan Weber atas pemahaman langsung dan pemahaman eksplanatoris.
Dalam
seluruh tindakan yang berlangsung, bisa dibedakan antara ‘tema’ dan ‘horizon’; tema
merujuk pada elemen yang dinilai secara subjektif dari sebuah situasi atau
tindakan yang relevan dengan suatu rencana tertentu yang pada saat itu sedang menjadi
perhatian seorang aktor. Sedangkan horizon mengacu pada aspek-aspek dari
situasi yang dianggap tidak relevan dengan apa yang berusaha dicapai oleh aktor.
Selanjutnya
dalam proses pemaknaan berusaha
menginterpretasikan dunia sosial dalam kerangka besar proses pencarian
pemahaman terhadap konstruksi makna dari intersubyektivitas (Giddens,
2010: 12).
Menurut
Schutz, pemahaman terhadap prilaku orang lain dapat diteliti secara
fenomenologis sebagai proses tipifikasi dengan berpijak pada tipifikasi
tindakan yang dilakukan Husserl. Tipifikasi tindakan didasarkan pada tipe
tindakan dari aktor, tipe tindakan dari tindakan itu sendiri, dan tipe tindakan
yang didasarkan pada karakter sosial dari aktor dalam realitas kehidupan
sehari-hari. Tipifikasi (pemolaan) memudahkan setiap individu untuk mengkaji
pengalaman, mengenali dan menentukan apakah benda dan peristiwa dapat dipandang
sebagai bagian atau masuk ke dalam jenis relaitas khusus atau tidak. Pada saat
yang bersamaan tipifikasi juga bersifat tidak pasti, dapat menyesuaikan diri
(beradaptasi), dan dapat dimodifikasi (Denzin & Lincoln,
1994: 263).
Dalam proses
tipifikasi, aktor menerapkan skema interpretatif untuk memahami makna dari apa
yang mereka lakukan. Inti hubungan sosial adalah hubungan yang secara langsung
mengalami yang lain (we-relationship). Dan inilah yang merupakan asal
semua gagasan tentang bentuk-bentuk sosial yang diterapkan oleh aktor dalam
kehidupan sosial mereka (Giddens, 2010: 13). Dalam perspektif
Schutz, setiap individu berinteraksi dengan dunia dengan bekal pengetahuan yang
terdiri dari konstruk-konstruk dan kategori-kategori umum yang pada dasarnya
bersifat sosial. Citra, teori, gagasan, nilai dan sikap tersebut diterapkan
pada berbagai aspek pengalaman sehingga
menjadikannya bermakna. Bekal pengetahuan itulah yang memungkinkan setiap individu
menginterpretasikan pengalaman, memahami maksud, dan motivasi individu lain,
memperoleh pemahaman intersubjektif dan pada akhirnya mengupayakan tindakan
(Denzin & Lincoln, 1994: 263). Secara esensial, kumpulan pengetahuan
selamanya tidak akan pernah lengkap, selalu terbuka akan perubahan. Sedangkan makna adalah hasil penerapan
kategori atau konstruk tertentu pada situasi konkret tertentu.
Berdasarkan pemikiran tentang tindakan sosial
tersebut fenomenologi membantu mengkonstruksi metode ilmu sosial untuk mencoba mengidentifikasi,
mengklasifikasi, dan membandingkan model tindakan sosial secara luas sehingga
memiliki sumbangan keilmuan bagi penelitian sosial.
3. Fenomenologi Alfred Schutz dalam Penelitian Sosial
Titik pangkal pemikiran Schutz
menekankan pembedaan antara objek dan karakteristik ilmu-ilmu sosial (Geisteswissenschaften)
dengan objek dan karakteristik
ilmu-ilmu alam (Naturwissenchaften). Objek kajian ilmu-ilmu sosial adalah
manusia dengan dinamika internalnya (pengalaman, pikiran, kehendak, kesadaran,
kebebasan, dan lain sebagainya) sehingga tidak dapat digeneralisir satu sama
lain. Sementara pada ilmu-ilmu alam, objek kajiannya adalah benda-benda fisik,
yang secara relatif dapat diperlakukan sama. Di sinilah terdapat perbedaan
ontologis yang sangat mendasar antara kedua objek kajian tersebut dan
berimplikasi pada metode yang akan digunakan dalam penelitian.
Fenomenologi sosial Schutz
dimaksudkan untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu “menafsirkan dan
menjelaskan tindakan dan pemikiran manusia” dengan cara menggambarkan
struktur-struktur dasar dari realitas yang “tampak nyata” di mata setiap orang
yang berpegang teguh pada “sikap alamiah”. Inilah isu utama praktik interpretatif
yang memusatkan perhatian pada makna dan pengalaman subjektif sehari-hari untuk
menjelaskan bagaimana objek dan pengalaman tercipta secara penuh makna dan
dikomunikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam fenomenologi sosial, terdapat
orientasi metodologis yang berkaiatan dengan relasi antara pemakaian bahasa
dengan objek-objek pengalaman. Dengan mengikuti teori korespondensi makna,
sebuah kata selalu berhubungan dengan referennya, acuannya, atau artinya di
dunia nyata. Dalam kerangka ini, tugas utama bahasa adalah memuat informasi
atau menjelaskan realitas. Jika dipandang sebagai sebuah sistem pola
(tipifikasi), maka kata-kata bisa
diibaratkan sebagai bahan mentah yang membentuk realitas sehari-hari. Sejalan
dengan hal tersebut bahwa fenomenologi sosial berpijak pada keyakinan dasar
bahwa “interaksi sosial tidak hanya memuat makna tetapi mengkonstruksinya”.
Dalam pandangan Schutz, pemakaian
bahasa (yang diterima begitu saja) dan tipifikasi menghadirkan suatu “rasa”
bahwa kehidupan bersifat substansial. Dunia selalu hadir terlepas dari pemahaman
manusia tentangnya. Hal ini berarti bahwa, orang lain mengalami dunia dengan
cara yang sama persis dengan diri sendiri, sehingga dalam interaksi sosial selalu
bisa memahami satu sama lain. Asumsi yang terbentuk semua individu secara intersubjektif
berhadapan dengan realitas yang sama
. Schutz menekankan bahwa intersubjektifitas ini merupakan pencapaian yang
terus berlangsung, yakni serangkaian pemahaman yang dipertahankan dari waktu ke
waktu oleh setiap partisipan dalam interaksi (Denzin &
Lincoln, 1994: 263).
Implikasi
pemikiran Schutz di atas bahwa, pusat perhatian ilmu sosial haruslah adalah
pada cara-cara kehidupan—yakni dunia eksperiensial yang diterima begitu saja
oleh setiap orang—diciptakan dan dialami oleh semua anggota masyarakat.
Perspektif subjektif ini merupakan satu-satunya jaminan yang perlu
dipertahankan agar dunia realitas sosial tidak digantikan dengan dunia fiktif
yang bersifat semu yang diciptakan oleh para peneliti ilmiah. Dalam perspektif
ini, subjektifitas adalah satu-satunya prinsip yang harus dilakukan oleh
peneliti sosial ketika memaknai objek-objek sosial. Jadi penekanannya adalah cara individu berhubungan dengan
objek-objek pengalaman, memahami dan berinteraksi dengan objek tersebut sebagai
‘benda’ yang terpisah dari sang peneliti.
Schutz
menyarankan agar peneliti mempelajari tindakan sosial yang terjadi di dalam
‘sikap alamiah’ mereka. Semua penilaian ontologis tentang alam dan hakikat
benda-benda serta peristiwa harus ditangguhkan terlebih dahulu. Peneliti harus
berkonsentrasi pada bagaimana setiap anggota (member) dunia kehidupan,
memproduksi (secara interpretatif) bentuk-bentuk (yang dapat dikenali dan
dipahami) yang mereka anggap nyata. Orientasi pada subjektifitas kehidupan ini
kemudian mendorong Schutz untuk meneliti penalaran praktis dengan agenda utamanya adalah memperlakukan
subjektivitas sebagai topik penelitian itu sendiri bukan sebagai pantangan
metodologis.
Konsekuensi dari pendekatan fenomenologi
Schutz berimplikasi pada tingkat metode penelitian yang digunakan dalam
melakukan penelusuran tentang pemaknaan tindakan. Penggunaan metode yang sesuai
dengan pendekatan fenomenologi menuntut peneliti untuk menemukan “esensi” makna
dari suatu fenomena yang dialami oleh individu di masyarakat.
Prosedur
Riset dengan pendekatan fenomenologi (Moustakas, 1994: 103-104; Creswell, 2014: 109, 111-113) adalah sebagai berikut:
1. Peneliti
menentukan problem riset yang akan didekati dengan fenomenologi. Tipe
permasalahan yang paling cocok untuk bentuk riset ini adalah permasalahan untuk
memahami pengalaman yang sama atau bersama dari beberapa individu pada fenomena
tertentu.
2. Peneliti
mengenali dan menentukan asumsi filosofis yang luas dari fenomenologi. Misalnya
terkait tentang kombinasi dari realitas objektif dan pengalaman individual.
Pengalaman hidup bersifat “sadar” dan diarahkan pada objek. Untuk dapat
mendeskripsikan secara penuh bagaimana para partisipan melihat fenomena
tersebut, para peneliti harus menyingkirkan sejauh mungkin pengalaman mereka.
Peneliti mengurung dirinya di luar dari studi yang dilakukannya. Hal ini tidak
berarti mengeluarkan peneliti dari studi tersebut, tetapi hal ini berfungsi
untuk mengidentifikasi pengalaman pribadi dengan fenomena tersebut, sehingga
peneliti dapat berfokus pada pengalaman dari para partisipan dalam studi
tersebut.
3. Data
dikumpulkan dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut melalui
wawancara mendalam. Akan tetapi ini bukan ciri universal, karena sebagian studi
fenomenologi melibatkan beragam data, seperti: pengamatan, dokuementasi, Focus
Group Discussion, dan lain-lain.
4. Dua
pertanyaan umum yang harus ditanyakan: 1). Apakah yang telah Anda alami terkait
dengan fenomena tersebut? 2). Situasi apa yang mempengaruhi pengalaman anda
dengan fenomena tersebut?
5. Langkah
analisis data fenomenologis berdasarkan dua pertanyaan riset di atas. Analisis
diarahkan untuk memeriksa data (transkrip wawancara) dan menyoroti berbagai
“pernyataan penting” (analisis yang sempit), kalimat, atau kutipan yang
menyediakan pemahaman tentang bagaimana para partisipan mengalami fenomena
tersebut. Langkah ini disebut horizonalisasi. Menuju deskripsi yang detail yang merangkum
dua unsur yaitu apa yang telah dialami oleh individu dan bagaimana mereka
mengalaminya. Berikutnya peneliti mengembangkan berbagai kelompok makna dari
pernyataan penting ini menjadi berbagai tema.
6. Horizonalisasi
digunakan untuk menulis deskripsi tentang apa yang dialami oleh partisipan (deskripsi
tekstual). Selain itu juga untuk menulis deskripsi tentang konteks atau
latar yang mempengaruhi bagaimana para partisipan mengalami fenomena tersebut yang
disebut variasi imajinatif atau deskripsi struktural. Para
peneliti juga menulis tentang pengalaman mereka dan situasi mereka sendiri yang
telah mempengaruhi pengalaman mereka
7. Dari
deskripsi struktural dan tekstual tersebut, peneliti kemudian menulis deskripsi
gabungan yang mempresentasikan “esensi” dari fenomena yang disebut struktur
invarian esensial/esensi). Bagian ini berfokos pada pengalaman yang sama
dari para partisipan. Artinya, semua pengalaman memiliki struktur dasar. Hal
ini merupakan bagian deskriptif, satu atau dua paragraf yang panjang dan
pembaca setelah membacanya memiliki perasaan “saya memahami dengan lebih baik
seperti apakah fenomena tersebut bagi sesorang yang mengalaminya”. Inilah esensi
atau intisari yang merupakan aspek puncak dari studi fenomenologi.
Secara
singkat, langkah kongkrit yang harus dilakukan peneliti adalah memilih antara fenomenologi
hermeneutika (yang berfokus untuk menafsirkan teks-teks kehidupan dan
pengalaman hidup) atau fenomenologi transendental (di mana peneliti
berusaha meneliti suatu fenomena dengan mengesampingkan prasangka tentang
fenomena tersebut). Prosedurnya yang digunakan adalah epoché (pengurungan):
suatu proses di mana peneliti harus mengesampingkan seluruh pengalaman
sebelumnya untuk memahami semaksimal mungkin pengalaman dari para partisipan.
Analisisnya berpijak pada horizonalisasi, dimana peneliti berusaha
memeriksa data dengan menyoroti pernyataan penting dari partisipan untuk
menyediakan pemahaman dasar tentang fenomena tersebut. (Qudsy dalam Creswell,
2014:viii).
Saat ini,
fenomenologi sebagai sebuah pendekatan dalam kajian ilmu-ilmu sosial sudah semakin
berkembang dan populer di kalangan peneliti sosial-budaya. Fenomenologi digunakan dalam berbagai bidang kajian.
Adapun pendekatan yang berakar dari fenomenologi adalah etnometodologi yang
akan dijelaskan dalam pembahasan berikut.
C. Etnometodologi
1.
Pengertian
dan Setting Historis-Filosofis Etnometodologi
Kata
etnometodologi berasal dari bahasa Yunani etnos yang berarti orang dan
methodos yang berarti metode; sedangkan logos berarti ilmu.
Etnometodologi dapat diartikan sebagai studi tentang metode yang digunakan oleh
orang awam (masyarakat biasa) untuk menciptakan keteraturan atau keseimbangan
dalam interaksi sosial (Suyanto, 2010: 205). Topik etnometodologi adalah
prosedur keseharian (etnometode) dari tiap-tiap anggota masyarakat ketika
mencipta, mempertahankan, dan mengolah rasa akan realitas objektif mereka (Denzin
& Lincoln, 1994: 264). Secara empiris, etnometodologi mempelajari
konstruksi realitas yang dibuat seseorang pada saat interaksi sehari-hari
sedang berlangsung. Dalam bahasa yang
sederhana, etnometodologi mencoba memahami metode (dengan cara apa) individu
menangkap pengalaman dunia sosialnya sehari-hari.
Dalam
pandangan Pips Jones (2010: 161), etnometodologi berarti “metode orang”.
Maksudnya adalah mengungkapkan metode yang digunakan oleh anggota masyarakat
dalam suatu tatanan sosial untuk berkomunikasi satu sama lain apa yang mereka
pikirkan sedang terjadi (makna situasi itu bagi mereka), dan upaya-upaya yang
mereka lalukan agar interpretasi itu dapat dipahami oleh orang lain. Sedangkan
menurut George Ritzer (2012: 665), etnometodologi secara harfiah berarti
“metode-metode” yang digunakan oleh individu di masyarakat untuk menyempurnakan
kehidupan mereka sehari-hari. Dalam etnometodologi, manusia dilihat sebagai makhluk rasional. Akan tetapi dalam menyelesaikan
persoalan kehidupan sehari-hari menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika
formal.
Secara luas,
etnometodologi dapat didefinisikan studi tentang himpunan pengetahuan akal
sehat (common sense) dengan beragam prosedur serta metode yang digunakan
oleh anggota masyarakat awam untuk memaknai, menemukan jalan, dan bertindak
menghadapi kondisi-kondisi ketika mereka menemukan diri. Dengan kata lain,
bagaimana praksis kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat yang
diartikulasikan dalam berbagai bentuk ekspresi tersebut dapat dijelaskan
(Ritzer, 2012: 666).
Etnometodologi
dapat didefinisikan sebagai ilmu etnometode, yakni prosedur-prosedur penalaran.
Pola kerjanya melalui analisis percakapan kemudian melakukan pemaknaan. Rangkaian
analisis yang terbangun ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, karena
tindakan sosial dapat ditelusuri pada konteks yang berbeda. Etnometodologi
berusaha melihat realitas sosial dari berbagai sudut pandang menuju objektivitas
analisis secara maksimal. Objektifitas tersebut akan memberikan rekomendasi
solusi yang kontekstual dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat (Purnomo, 2013).
Berdasarkan
pemaham beberapa definisi di atas, maka istilah etnometodologi mengacu kepada
kegiatan ilmiah yang menganalisis metode-metode atau prosedur-prosedur yang
digunakan individu dalam masyarakat untuk menuntun mereka dalam berbagai kegiatan
dalam kehidupan kesehariannya.
Etnometodolgi
sering dianggap sebagai suatu metodologi baru dari etnologi, sering juga
dipertukarkan dengan etnografi. Dalam ilmu sosial, etnometodologi adalah suatu
kajian yang unik sekaligus radikal karena mengkritik cara-cara yang dilakukan
para sosiolog sebelumnya. Sehingga dalam pandangan Mehan dan Wood dalam Umarela
(2012), etnometodologi dipandang sebagai keseluruhan penemuan, suatu metode,
suatu teori, suatu pandangan dunia yang berusaha memaparkan realitas pada
tingkatan yang melebihi sosiologi. Kajiannya dibatasi pada common sense yang
digunakan terus-menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang dialami individu
secara wajar.
Etnometodologi adalah sebuah aliran
sosiologi Amerika. Embrionya sudah mulai mengemuka pada periode 1940-an. Pada waktu itu, Garfinkel—pencetus
Etnometodologi menggunakan istilah tersebut dalam berbagai kesempatan seperti
seminar, perkuliahan, dan pada pertemuan American Sociological Association
(1954). Setelah diterbitkannya Studies in Ethnomethodology (1967),
pemikiran Garfinkel menjadi satu disiplin ilmu yang semakin mantab (Ritzer, 2012: 672).
Kemunculan
etnometodologi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran sebelumnya.
Misalnya teori fungsional dari Talcott Parsons dan Merton, Strukturalisme Durkheim, Interaksionalisme Simbolis Mead,
Dramaturgi Goffman, Fenomenologi Alfred Schutz dan Husserl. Selain itu juga
karya Weber, Manheim, Aaron Gurwitsch, Merleu-Ponty, dan lain-lain. Garfinkel
sendiri mengakui bahwa karyanya diilhami oleh Talcott Parsons (Giddens, 2010,
22). Baginya, pemikiran Parsons sangat menawan karena kedalaman dan
ketetapannya dalam penalaran sosiologi praktis, yang memiliki kaitan dengan
tugas pembentukan tatanan sosial dan pemecahannya (Suyanto, 2010: 195).
Dalam
pandangan Parsons, tatanan sosial dihadirkan melalui sistem norma dan sistem
nilai yang sudah terlembagakan. Sedangkan menurut Garfinkel, aktor sosial
merupakan “sang penilai” yang merespon semua kekuatan sosial eksternal dan
dimotivasi oleh dorongan atau kewajiban batin. Tatanan sosial yang dibangun
melalui tindakan interpretatif setiap anggota masyarakat umum yang bersifat
terus-menerus. Setiap orang memiliki kompetensi interaksional dan linguistik
praktis yang memungkinkan hakikat realitas kehidupan sehari-hari dapat dicerap,
dipahami, dan secara teratur diproduksi. Karena setiap orang merupakan
“anggota” masyarakat, maka semua tindakan yang mereka lakukan membentuk tatanan
sosial (Denzin & Lincoln, 1994: 264).
Selain Parsons,
pemikiran Garfinkel juga banyak berhutang budi pada fenomenologi sosial Alfred
Schutz. Schutz sendiri dalam mengembangkan pemikirannya berpijak pada pemikiran
Weber. Bagi Schut, Weber telah menggariskankan point penting Verstehen (memahami)
sebagai lawan dari Erklaren (menjelaskan). Kemudian dikembangkannya
dengan prosedur interpretasi dalam kehidupan sehari-hari untuk memberi makna
terhadap tindakan diri sendiri dan orang lain. Dunia sosial bagi Schutz adalah
dunia kehidupan sehari-hari yang ditempati oleh orang-orang yang tidak membawa
keinginan teoritis secara a priori ke dalam pembentukan dunia (Suyanto, 2010:
196).
Dalam
pandangan fenomenologi, suatu gejala tidak akan bermakna jika manusia tidak
menjadikannya bermakna. Anggota masyarakat yang hidup di dunia yang diciptakan
penuh makna merupakan milik bersama. Dan cara mereka menginterpretasikan
realitas menggunakan “pengetahuan yang masuk akal” yang mengejawantah melalui
bahasa. Melalui bahasa, seseorang dapat memperoleh pengetahuan tentang dunia
dan tentang mereka bersama orang lain. Dan bagian terbesar pengetahuan yang
dimiliki bersama orang lain adalah sense yang dimiliki seseorang bersama
orang lain (Denzin & Lincoln, 1994: 263). Berpijak dari fenomenologi inilah
kemudian Garfinkel memusatkan kajian bukan lagi pada apa yang dipikirkan oleh
anggota masyarakat sebagai landasan bertindak, melainkan melangkah ke arah
kajian mengenai percakapan anggota masyarakat dalam setting kehidupan
sehari-hari.
Indikasi
pengaruh Schutz dalam pemikiran
Garfinkel, menurut Anthony Giddens (2010: 22) dapat ditemukan dalam
tulisan-tulisan awal Garfinkel tentang pandangan Schutz yang berkaitan dengan
sifat rasionalitas dalam prilaku sosial. Garfinkel membuat pemisahan antara
“rasionalitas ilmu” dan rasionalitas akal sehat atau “sikap alamiah”. Istilah “rasionalitas
ilmu” merupakan sudut pandang Weber terhadap tindakan rasional yang melibatkan
penerapan kriteria tujuan yang jelas dalam prilaku sosial. Tindakan termotivasi
ini dijelaskan dalam pengertian kriteria pengamat—yang barangkali dan biasanya—tidak
sesuai dengan kriteria yang digunakan aktor dalam mengarahkan prilaku mereka.
Konsekuensinya, aktivitas sosial manusia yang sangat luas akan tampak
“non-rasional” dan “tindakan rasional” akan tampak hanya memiliki arti yang
marjinal. Jika hanya ada satu standar rasionalitas yang dapat diaplikasikan
pada interpretasi atas prilaku sosial diabaikan dan yang dibicarakan adalah
beragam “rasionalitas” yang dapat digunakan para aktor, maka tindakan rasional
tidak lagi merepresentasikan sekedar sebuah kategori residual.
Dengan
mengikuti Schutz, Garfinkel membedakan sejumlah besar “rasionalitas” yang
relevan dengan perhatian terhadap kehidupan sehari-hari yang bersifat praktis.
Dalam pandangan Schutz, rasionalitas dalam kehidupan sehari-hari dapat disebut
sebagai kepentingan praktis individu dalam dunia sosial dan harus dibedakan
dengan kepentingan teoritis atau ilmiah kaum ilmuan. Teori ilmiah mencoba
meneliti dan memahami dunia secara sistematis. Menurut Schutz, hal ini harus
disingkirkan karena tindakan individu di masyarakat bukan berdasarkan teori
ilmiah, melainkan kepentingan praktis. Dunia intersubjektif sama-sama dimiliki
oleh orang lain yang mengalaminya (Poloma, 2000: 281). Seorang aktor awam—sebagai
teoritisi sosial yang praktis, berhasil menata pengalamannya untuk mendukung
keyakinannya bahwa dunia (alam maupun sosial) adalah sebagaimana yang tampak. Pembahasan realitas inilah yang memberi
Garfinkel suatu perspektif baru untuk membangun pendekatan etnometodologi.
Etnometodologi
berbicara mengenai kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat serta rangkaian
prosedur dan pertimbangan (metode) yang dapat dipahami oleh anggota masyarakat
biasa dan yang mereka jadikan sebagai landasan untuk bertindak. Jadi, kajian
Garfinkle merupakan studi tentang sifat-sifat penalaran akal sehat praktis
dalam situasi tindakan sehari-hari. Hal ini mengindikasikan penolakan
rasionalitas ilmiah sebagai titik sentral perbandingan untuk menganalisis panalaran
sehari-hari.
Dalam
perspektif etnometodologi, aktivitas kehidupan sehari-hari yang terkesan remeh
dan tidak representatif untuk dijadikan unit kajian, ternyata tidak demikian
adanya. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari ketika dianalisis secara kritis
terdapat rasionalitas di dalamnya. Melalui world-view nya, aktor berasal
dari orang awam memiliki perangkat pengetahuan praktis (penalaran akal sehat)
yang bisa digunakan untuk menjelaskan (account) aktifitas sosialnya
(Suyanto, 2010: 206).
2.
Etnometodologi
Harold Garfinkel
Etnometodologi
dikembangkan oleh Harold Garfinkel—seorang sosiolog modern yang berasal dari
Amerika Serikat. Etnometodologi merupakan salah satu teori sosiologi modern
yang tergolong dalam ranah sosiologi humanistis atau sosiologi interpretatif.
Diskursus utama dalam etnometodologi sebagaimana dijelaskan oleh Garfinkel:
“Bagi etnometodologi, realitas objektif fakta-fakta
sosial terdapat di dalam dan secara persis dihasilkan oleh setiap masyarakat
secara lokal dan endogen, diorganisasikan secara alami, dapat
dipertanggungjawabkan secara refleksif dan berkelanjutan berupa pemerolehan
praktis, ada di mana-mana, selalu, hanya, persis dan seluruhnya, merupakan
karya para anggota, tanpa waktu
istirahat, dan tanpa kemungkinan untuk dihilangkan, disembunyikan, dilewatkan,
ditunda, atau diambil alih, dengan demikian merupakan fenomena fundamental
sosiologi” (Ritzer, 2012: 668).
Kehidupan
sosial yang dijalani oleh anggota masyarakat dalam perspektif etnometodologi bukan
dilihat dengan standar rasionalitas ilmiah, melainkan sebaliknya. Ketika
standar ilmiah diberlakukan dalam aktifitas alami sehari-hari justru tidak akan
relevan. Titik permulaan eksposisi ini berangkat dari fenomenologi Alfred
Schutz, akan tetapi hasilnya menuju arah yang berbeda yakni bagaimana sikap
alamiah “direalisasikan” sebagai sebuah fenomena oleh para anggota masyarakat
sehari-hari. Realitas sosial diproduksi
dari “dalam” melalui prosedur interpretatif setiap anggotanya (Denzin &
Lincoln, 1994: 265). Penekanannya adalah pada pengalaman subjektif menuju studi
tentang “tindakan tersituasi” sebagaimana bentuk-bentuk linguistik yang
diinterpretasikan secara publik (Giddens, 2010: 25). Etnometodologi hendak
menjelajahi fenomena sosial kehidupan aktor sehari-hari dalam memahami,
memproduksi, dan me-manage dunia soaialnya melalui cara-cara yang
digunakan para anggota masyarakat untuk menjelaskan (melukiskan, mengkritik,
dan mengidealkan) situasi-situasi spesifik (Ritzer, 2012: 668). Dalam bahasa
singkat, yang menjadi masalah dalam etnometodologi adalah bagaimana (dengan
metode apa) individu menangkap dunia mereka sehari-hari, serta bagaimana para
anggota masyarakat menerima keteraturan atau pola-pola realitas mereka. Dalam
hal ini tidak bisa dilepaskan dengan bahasa dan makna yang dikaitkan pada
simbol-simbol signifikan (Poloma, 2000: 282).
Garfinkel dalam
mendeskripsikan perhatian etnometodologi, menggunakan istilah indeksikalitas
dan ekspresi indeksikal—kata yang dipakai oleh Y. Bar-Hillel dan CS. Pierce
yang menemukan indexical sign (makna kata tergantung konteksnya) (Giddens,
2010: 25). Berbagai ungkapan indeksikal merupakan rancangan mengenai ruang dan
waktu kejadian yang dapat berfungsi sebagai index untuk menempatkan apa
yang terjadi dalam dunia realitas. Menurut Garfinkel, ungkapan objektif sulit
diterapkan dalam (sebagian besar) percakapan informal, meskipun ungkapan
tersebut esensial bagi ilmu pengetahuan (Poloma, 2000: 282).
Dalam
pandangan Garfinkel, dunia sehari-hari berjalan di atas suatu sistem yang penuh
dengan ungkapan indeksikal, sedangkan para sosiolog menekankan penggunakan
ungkapan-ungkapan secara objektif. Definisi yang digunakan individu dalam
kehidupan sehari-hari tidak bisa dikacaukan dengan “pengetahuan ilmiah”.
Keduanya sama-sama rasional tetapi dalam kategori yang berbeda (Poloma, 2000:
290).
Kalimat
indeksikal berlangsung dalam aktifitas sehari-hari baik berupa indexical
expression maupun indexical action. Aktifitas praksis yang dilakukan oleh
setiap aktor dalam proses interaksi tidak
bisa dilepaskan dengan bahasa. Melalui bahasa—khusus yang menggunakan ungkapan
indeksikal—manusia mampu mengungkapkan keteraturan yang mereka buat terhadap
dunia sehari-hari. Salah satu elemen bahasa yang mudah diketahui adalah
percakapan. Dalam konteks ini, etnometodologi menjadikan percakapan baik verbal
maupun non-verbal dalam lingkup institusional—seperti di sekolah, rumah sakit,
pengadilan, penjara, dan institusi lainnya—terutama mencakup pembicaraan
keseharian. Menurut Garfinkel, untuk memahami aktifitas keseharian tersebut
penting dilakukan melalui “analisis percakapan”. Melalui analisis percakapan
bisa dimengerti bagaimana cara (metode) setiap subjek ataupun aktor dalam menjelaskan
tindakannya secara rasional (Suyanto, 2010: 202).
Berdasarkan pemahaman
di atas, maka etnometodologi memandang bahwa dalam kehidupan soaial masyarakat
tidak semata-mata ditopang oleh berfungsinya sistem atau struktur sosial,
melainkan proses kerja subjektifitas aktor sosial yang selama ini memainkan
peran determinan dalam membangun dunia sosialnya, terutama dunia sosial yang
integratif dan harmonis.
Adapun peran
yang dilakukan oleh aktor atau anggota masyarakat menurut Garfinkel tidak terbatas pada kalangan aktor yang
memiliki status ilmuan yang memiliki kemampuan bernalar secara ilmiah,
melainkan masyarakat pada umumnya juga memiliki peran yang sama sebagai
sosiolog praktis yang mempunyai kemampuan dalam menstrukturkan dunia sosialnya
(Suyanto, 2010: 203). Dalam realitas sosial, individu-individu dalam berbagai
strata sosialnya—baik awam maupun terdidik—dalam suatu kelompok sosial (member),
dipandang sebagai makhluk rasional yang memiliki kemampuan dan kecerdasan
dalam membangun dunia sosialnya. Mereka adalah aktor-aktor sosial yang dinamis,
kreatif, cerdas dan selalu memiliki kemampuan untuk menjadikan dunia sosial dan
juga setting sosial yang melingkupinya itu dapat dipahami (akuntabel).
Dengan
demikian studi etnometodologis menurut Anthony Giddens (2012: 29) memiliki dua
tujuan: Pertama, untuk membuat akuntabilitas praktik-praktik sosial
menjadi akuntabel, tetapi tidak berusaha memperbaiki ungkapan-ungkapan
indeksikal seperti halnya teori-teori yang berusaha mengklasifikasikan dan
menjelaskan praktik-praktik ini pada suatu tingkatan umum; Kedua, pemikir
etnometodologi tidak membedakan—untuk tujuan studi mereka sendiri—antara
sosiologi yang diterapkan oleh para anggota masyarakat awam dalam kehidupan
mereka sehari-hari dengan sosiologi yang diterapkan oleh para ilmuan sosial
yang profesional.
Etnomedologi
memberikan gambaran betapa realitas sosial yang dibakukan sebagai realitas
objektif yang dalam kerja akademis peneliti, membutuhkan perangkat analisis
formal tidak cukup bisa digunakan untuk menjelaskan persoalan-persoalan sosial
sampai yang tak terpikirkan dan tidak bisa dipertanyakan. Dalam pelaksanaan
penelitian, etnometodologi beranggapan bahwa pembentukan pengetahuan sosiologis
terhadap pemaknaan realitas sosial harus diawali dari metode yang bisa diukur
dan terobservasi secara jelas. Metode yang digunakan untuk menganalisis
realitas sosial bukanlah metode yang dimunculkan dari pemikiran apriori
manusia, namun harus berdasar pada pemikiran aposteriori manusia.
3.
Etnometodologi
dalam Penelitian Sosial
Fokos
kajian etnometodologi dalam penelitian empiris adalah tentang “metode anggota” berangkat
dari basis fenomenologis. Di dalamnya berlaku netralitas etnometodologis dimana
setiap peneliti hendaknya menangguhkan semua komitmen atau kecondongan pada
versi struktur sosial tertentu yang bersifat a priori atau diistimewakan.
Perhatian peneliti harus dipusatkan pada bagaimana cara setiap anggota dapat
menciptakan, mengolah, dan memproduksi “rasa” akan struktur sosial, untuk
mengeksplorasi metode rakyat dan logika awam (Denzin & Lincoln, 1994: 338).
Dari
sisi prosedur, sebuah penelitian etnometodologi harus selalu disesuaikan dengan
wacana dan interaksi yang berlangsung secara alami seiring dengan
berlangsungnya penelitian terhadap unsur pembentuk setting sosialnya atau
konteksnya. Yang hendak dieksplorasi oleh etnometodologi adalah muatan atau
ujaran sebagai pembentuk makna lokal. Makna yang dimaksudkan adalah: 1). Makna secara
esensial bersifat indeksikal atau tergantung konteks yang menyertai. Tanpa
konteks yang jelas, maka objek atau peristiwa akan kabur/ambigu dan tidak
pasti; 2). Situasi atau kondisi lingkungan yang menghadirkan konteks bagi makna
bersifat mengembangkan dirinya sendiri. Artinya, realitas sosial yang tercipta
adalah realitas yang refleksif (perenungan); deskripsi tentang setting
sosial menciptakan setting tersebut sekaligus dibentuk oleh setting
yang dikandungnya (Denzin & Lincoln, 1994: 265). Antara indeksikalitas dan
refkesivitas bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan, yang dalam
hal ini sebagai dua unsur sosial yang tidak bisa dihindari. Inilah yang
termanifestasikan dalam penelitian etnometodologi.
Dalam
setiap penelitian tentang praktik interpretatif yang terposisikan secara
sosial, memerlukan perhatian lebih terutama pada aspek percakapan dan
interaksi. Analisis metodologisnya terfokus pada setting sosial yang
tersingkap secara interaksional dengan percakapan dan interaksi diperlakukan
sebagai topik analisis, bukan komunikasi biasa tentang fenomena. Analisis juga
dapat mengeksplorasi strukturasi ujaran yang bersambung sebagai sarana untuk
membangun konteks dan makna dalam berinteraksi. Analisis ini selanjutnya
berkembang sebagai salah satu varian dalam etnometodologi menjadi analisis
percakapan (Denzin & Lincoln, 1994: 265; Ritzer, 2012: 673).
Tujuan
analisis percakapan adalah pengertian yang rinci atas struktur-struktur
fundamental interaksi percakapan. Percakapan dalam perspektif etnometodologi
adalah aktifitas interaksional yang mempertunjukkan sifat-sifat yang stabil
secara teratur yang merupakan prestasi-prestasi orang yang bercakap-cakap.
Percakapan dilihat sebagai hal yang tertata secara internal dan berurutan
sehingga fokus analisisnya pada pembatas internal, bukan kekuatan eksternal
yang membatasi (Ritzer, 2012: 674).
Menurut
John Herritage dalam Denzin dan Lincoln (1994: 265-266), analisis percakapan
dapat dirangkum ke dalam tiga premis utama: Pertama, interaksi
terorganisir secara struktural sehingga dalam percakapan sehari-hari terlihat
konstan dan teratur. Semua aspek interaksi dapat dikenali sehingga kestabilan
pola dan nuansa struktural tampak jelas. Seluruh aspek tersebut tidak
tergantung pada karakteristik psikologi ataupun karakteristik lain dari sang
penutur. Namun memperlihatkan aspek-aspek “bertutur-berinteraksi” yang menjadi
acuan partisipan yang terlibat di dalamnya; Kedua, semua interaksi
terorientasikan secara kontekstual dalam arti bahwa percakapan merupakan hasil
refleksi dari lingkungan atau kondisi produksinya; Ketiga, kedua ciri di
atas adalah sifat asli dari semua interaksi sehingga tidak ada satupun yang
dapat diabaikan atau dilupakan atau dianggap insidental, irrelevan, atau
menyalahi pola yang sedang terjadi.
Zimmerman
dalam George Ritzer (2012: 674-675) memerinci lima prinsip dasar analisis
percakapan:
1. Analisis
percakapan memerlukan himpunan data yang sangat rinci mengenai
percakapan-percakapan yang diteliti. Data tersebut tidak hanya berupa
kata-kata, melainkan juga keragua-raguan, penyelaan, pengulangan, kebisuan,
penghelaan nafas, mendehem, bersin, tertawa, kebisingan mirip tawa, persajakan
dan semacamnya, prilaku non-verbal yang tersedia pada laporan-laporan video
pada audiotape.
2. Rincian
paling baik dari suatu percakapan berarti pencapaian yang rapi. Hal-hal kecil
dari percakapan tidak ditata oleh para peneliti, melainkan oleh aktor sendiri.
3. Interaksi
pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat stabil yang rapi
yang merupakan prestasi-prestasi para aktor terlibat. Sifat-sifat percakapan
diperlakukan oleh peneliti seakan-akan
otonom, dapat dipisahkan dari proses kognitif para aktor dan juga konteks yang
lebih besar dari tempat kejadian.
4. Kerangka
fundamental percakapan adalah kerangka skuensial (percakapan sehari-hari).
Rangkaian interaksi percakapan diatur secara bergiliran atau berbasis lokal.
Ada dua pembedaan antara percakapan “yang dibentuk-konteks” dan “yang
membentuk-konteks”. Percakapan yang dibentuk-konteks adalah apa yang dikatakan
setiap momen tertentu dibentuk oleh konteks skuensial yang mendahului percakapan.
Sedangkan percakapan yang membentuk-konteks adalah apa yang sedang dikatakan di
dalam giliran yang sekarang menjadi bagian dari konteks untuk giliran masa
depan.
5. Analisis
percakapan didasarkan pada asumsi bahwa percakapan adalah lapisan dasar bentuk-bentuk
lain hubungan antar pribadi. Sebuah bentuk interaksi yang paling meresap, dan
suatu percakapan terdiri dari matriks terpenuh praktik-praktik dan
prosedur-prosedur komunikatif yang diatur secara sosial.
Penjelasan
di atas memberikan uraian umum tentang etnometodologi secara teoritis. Akan
tetapi satu hal yang harus diperhatikan adalah jantung etnometodologi bukanlah
terletak pada pernyataan-pernyataan teoritis melainkan dalam studi empiris.
Dalam studi empiris terdapat dua prosedur yang dikembangkan etnometodologi
yakni observasi-partisipan dan eksperimen semi lapangan. Eksperimen yang
dimaksud tidak sama dengan eksperimen dalam penelitian positif, melainkan
memahami secara mendalam dengan metode dokumen interpretasi.
Menurut
Manheim dalam Bagong Suyanto (2010: 214), metode dokumen interpretasi adalah
penelitian tentang pola identik yang tersembunyi di bawah suatu keragaman untuk
mewujudkan berbagai makna. Digunakan untuk meneliti suatu penampilan yang
aktual (fakta) sebagai suatu “dokumen” tentang suatu “penggambaran” seperti
“atas nama” suatu model yang diperkirakan tersembunyi. Bisa jadi hal ini
diturunkan dari fakta dokumen pribadi, tetapi fakta yang diinterpretasi atas
dasar “apa yang diketahui” tentang pola yang tersembunyi tersebut. Dan masing-masing
dipakai untuk menguraikan yang lain.
Penelitian
dengan fokus perhatian pada percakapan detail “langsung”, membutuhkan metode
penelitian yang naturalistik. Secara teknis, percakapan direkam dengan alat
perekam (audio-video) dan ditranskripsikan sehingga proses percakapan timbal
balik terekam secara detail. Analisis kemudian diarahkan pada struktur
percakapan yang kolaboratif dan terus-menerus muncul. Kemudian diidentifikasi
prinsip-prinsip yang mengatur urutan percakapan, pola pengaturan dan penggantian
ujaran secara lokal, lain-lain. Seperti: urutan pembukaan, dinamika, dan
penutupan. Intinya, percakapan diteliti sampai metode atau struktur yang
mengatur jalannya percakapan tersebut tampak gamblang (Denzin & Lincoln,
1994: 266).
Proses
memahami realitas sosial akan menjadi jelas manakala realitas tersebut
dipertanyakan. Dan etnometodologi melalui proses analisis percakapan
sebagaimana uraian di atas, menunjukkan bagaimana menangkap pengertian dari apa
yang sebenarnya sedang dikatakan oleh aktor dalam realitas sosial. Menurut Giddens (2010: 15), sosiologi
interpretatif bertujuan untuk memberikan kemungkinan penjelasan yang sejelas
mungkin terhadap pemikiran tentang dunia sosial oleh mereka yang hidup di
dalamnya. Sehingga tindakan manusia yang dilakukan di dalam dunia kehidupan
oleh seorang individu akan dapat dipahami bagi aktor sendiri maupun bagi
sesamanya dalam pengertian interpretasi atas kehiudpan sehari-hari.
D. Titik Pisah dan Titik Temu antara Fenomenologi dan
Etnometodologi
Pada
dasarnya terdapat beberapa perbedaan antara fenomenologi dan etnometodologi.
Pemikiran fenomenologi Alfred Schutz lebih dekat kepada fenomenologi Edmund
Husserl. Meskipun Schutz meninggalkan fenomenologi transendental, tapi dia
membahasnya secara arbitrer tanpa menyediakan contoh kasus untuk dipahami. Sehingga
nampak ketegangan yang tidak terselesaikan antara fenomenologi yang berakar
dalam pengalaman ego dengan dunia yang intersubjektif. Fenomenologi Schutz
lebih dekat kepada pemikiran Wittgenstein yang diadopsi Winch yang menyatakan
bahwa pemahaman diri hanya dimungkinkan dari pemanfaatan bentuk-bentuk
linguistik yang tersedia secara publik oleh Subjek.
Sedangkan
pemikiran Garfinkel merujuk pada Schutz dan Wittgenstein—bukan dalam rangka
melahirkan sebuah penjelasan filosofis atau logika ilmu-ilmu sosial sehingga
melahirkan penelitian praktis. Sehingga dasar etnometodologi menjadi tidak
terjelaskan. Dalam pemikiran Garfinkel ada dua hal atau penekanan yang saling
berlawanan dan tidak dapat direkonsiliasikan, akan tetapi pada saat yang sama
bisa langsung menuju naturalisme. Hal ini tercermin dalam konsep
indeksikalitas.
Antara
fenomenologi dan etnometodologi, memiliki titik temu yakni masing-masing pendekatan
memiliki keutamaan mendalam pada penilaian apapun terhadap karakteristik metode
sosiologi. Keduanya juga termasuk ke dalam sosiologi interpretatif: Pertama,
Verstehen tidak seharusnya diperlakukan sebagai teknik investigasi yang
secara khusus dimiliki oleh para ilmuan sosial, tetapi secara umum pada semua
interaksi sosial--atau dalam pernyataan Schutz—bentuk pengalaman tertentu yang
di dalamnya pemikiran akal sehat menerima pengetahuan dunia kultural sosial. Kedua,
implikasinya adalah, secara mendasar para peneliti sosial menggunakan
sumber-sumber yang sama dengan yang digunakan para aktor awam dalam memahami
prilaku manusia secara “ilmiah”. Sebaliknya, teori praktis yang dihasilkan oleh
orang awam tidak begitu saja dapat diabaikan oleh peneliti sebagai sekedar
penghambat bagi pemahaman tentang prilaku manusia secara “ilmiah”. Ketiga, pengetahuan
yang secara berkala digunakan oleh anggota masyarakat untuk membuat sebuah
dunia sosial bermakna tergantung pada pengetahuan yang dipercaya begitu saja
atau pengetahuan pragmatis. Dengan kata lain, “pengetahuan yang jarang bisa
diungkapkan dalam bentuk pernyataan oleh agen dan tidak relevan dengan
idealisme ilmu pengetahuan. Keempat, konsep-konsep yang digunakan oleh
ilmuan sosial dihubungkan pada pemahaman sebelumnya dari konsep-konsep tersebut
yang digunakan orang awam untuk melangsungkan sebuah dunia sosial yang
bermakna.
Adapun
kelemahan yang dimiliki oleh kedua pendekatan adalah: Pertama, setiap
pendekatan lebih berurusan dengan pengertian dari pada dengan tindakan
praktis—keterlibatan aktor dengan realisasi perhatian secara praktis, termasuk
transformasi materi alam melalui aktivitas manusia. Kedua, konsekuensinya
tidak satupun dari kedua pendekatan mengenali adanya sentralitas kekuasaan
dalam kehidupan sosial. Bahkan, sebuah percakapan sambil lalu antara dua orang
juga merupakan sebuah relasi kekuasaan, karena keduanya akan membawa sumber
yang tidak setara. Proses produksi dalam sebuah dunia sosial yang “teratur” dan
“bisa dijelaskan” tidak dapat dipahami sekedar sebagai kerja kolaborasi oleh sepantar.
Pengertian-pengertian yang dihasilkan untuk dipahami mengekspresikan
kekuasaan yang asimetris atau setara. Ketiga, norma-norma atau kaidah
sosial memungkinkan adanya interpretasi yang berbeda-beda; perbedaan
interpretasi terhadap sistem ide yang sama terletak pada inti persetruan yang
berdasar pada pembagian kepentingan.
E. Penutup
Sebagai
sebuah pendekatan penelitian, fenomenologi dan etnometodologi menghadapi
tantangan yang menjadi agenda ke depan. Fenomenologi mensyaraktkan asumsi
filosofis yang lebih luas, dan para peneliti harus mengidentifikasi dalam studi
mereka. Akan tetapi asumsi folosofis adalah ide yang abstrak sehingga tidak
mudah terlihat dalam studi fenomenologi tertulis. Selain itu, partisipan yang
harus dipilih secara hati-hati (yang memiliki pengalaman sama atau fenomena
yang dimaksud) menjadikan peneliti dapat membentuk pemahaman yang sama.
Kesulitan yang dihadapi peneliti adalah
menemukan individu yang memiliki fenomena yang sama.
Kesulitan
lainnya adalah mengurung pengalaman pribadi peneliti. Karena penafsiran
terhadap data selalu melibatkan asumsi yang dibawa peneliti ke dalam studi yang
dilakukannya, maka dibutuhkan definisi yang lebih tepat untuk “epoché”(pengurungan)
ini. Dengan demikian, peneliti memiliki gambaran jelas dengan cara apa
pemahaman pribadinya akan dimasukkan ke dalam studinya.
Sedangkan
etnometodologi yang memandang dirinya mampu memberikan cara pandang baru yang
lebih komprehensif dibandingkan dengan sosiologi konvensional nampaknya
memunculkan kritik dari berbagai kalangan. Ada yang mengatakan etnometolodologi
sebagai Sociology of Absurd. Ada juga yang menilai etnometodelogi
sebagai teori pinggiran yang berurusan dengan hal-hal remeh dan terlalu
memusatkan perhatian pada persoalan sepele dengan mengabaikan persoalan besar
di masyarakat.
Etnometodologi
juga kehilangan refleksi radikal keasliannya yang berakar pada fenomenologi,
dengan tidak memberi penekanan pada kesadaran atau proses kognitif melainkan
lebih memperhatikan pada struktur percakapan. Sehingga dalam pandangan
sosiologi konvensional, etnometodologi dinilai gagal menyatakan metodologinya
dengan tepat, jelas, dan naif dalam mengetengahkan bagaimana proses asumsi yang
diterima begitu saja dari realitas sehari-hari. Kegagalan lainnya adalah
menampilkan tesis inti hakikat realitas sosial.
Sejarah
akan mencatat apakah etnometodologi bisa bertahan sebagai perspektif menghadapi
kritik yang demikian atau hanya menjadi “bidang lain” dari teori yang sudah
mapan. Waallahu a’lam bi al-shawab.
Bibliografi
Creswell.
John W. Peneltian Kualitatif dan Desain Riset Memilih diantara Lima
Pendekatan. Diterjemahkan oleh Ahmad Lintang Lazuardi dari “Qualitative
Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approaches. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2014.
Denzin,
Norman K. Hanbook of Qualitative Research. London: SAGE Publicayion,
1994.
Garfinkel,
Harold. “Ethnomethodology’s Program” dalam Social Psycology Quarterly. Vol.
59, No. 1, 1996. Los Engles: Universiry of California.
Giddens,
Anthony. Metode Sosiologi Kaedah-kaedah Baru. Diterjemahkan oleh Eka Adinugraha &
Wahmuji dari “New Rules of Sociological Methode A Positif Critique of
Interpretative Sociologies”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Jones,
Pip. Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsional hingga Teori Modern.
Diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saifuddin dari “Intrudocing Social
Theory”. Jakarta: Yayasan Obor, 2010.
Lubis,
Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Press, 2014.
Moustakas,
Clark. Phenomenological Research Methode. London: SAGE Publikations,
1994.
Nindito,
Stefanus. “Fenomenologi Alfred Schutz: Studi tentang Konstruksi Makna dan
Realitas dalam Ilmu Sosial” dalam Jurnal Ilmu Komunikasi.Vol.2, No.1,
2013. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Purnomo,
Ignatius Eko. “Membumikan Konsep Epistemologi Dalam Pola Berpikir Siswa” dalam Jurnal
Pendidikan Penabur No.20/Tahun ke-12/Juni 2013. Jakarta: BPK
Penabur.
Ritzer, George. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, dkk. dari
“Sociological Theory” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Poloma, Margaret M. Sosiologi
Kontemporer. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasogama dari Contemporary
Sosiological Theory. Jakarta: PT. Grasindo Perkasa.
Ritzer,
George dan Barry Smart (Ed). Handbook Teori Sosial. Diterjemahkan oleh
Derta Sri Widowati dari “Handbook of Social Theory”. Jakarta: Nusa Media, 2011.
Sokolowski,
Robert (Ed). Studies in Philosophy and the History of Philosophy Vol.18.
Washington DC: The Catholic University of America Press. 1988.
Suyanto,
Bagong dan A. Khusna Amal (Ed). Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta:
Aditya Media, 2010.
Umarela,
Farid Hamid. “Etnometodologi Suatu Penelitian Kualitatif” dalam Jurnal Communique,
Vol.2, No.1, Juli 2005. Jakarta: Universitas Pelita Harapan.
Subscribe to:
Posts (Atom)